28. Sadar

4.4K 278 6
                                    

Karena hasil lab tuan minggu ini kolesterol naik, kami menyediakan chinook salmon poke bowls, dengan paduan kacang macadamia yang tumbuh baik di daratan Australia yang gurih dan lembut. Saus Big Mac yang manis dan sangat lembut,"

Lelaki paruh baya itu mengangguk sekali. Menyeruput minuman yang baru di tuangkan oleh pelayan lain. Matanya menatap kearah anak tunggalnya yang duduk di kursi jarak dua dari dirinya. "Kenapa periksa hape terus? Ada hal penting?" tanya David curiga.

Karang sedikit terlonjak, menyimpan ponselnya kembali. "Tidak, tidak ada," sergah Karang menggeleng kecil. Berusaha menampakkan wajah tenang.

"Apa kamu masih tak paham table manner? Jangan ada di hadapan saya kalo fokus dengan hal lain," kata David tak suka. Mulai menyumpitkan makanannya pelan.

"Maaf," ujar Karang merunduk singkat.

Sejujurnya Karang sangat gelisah. Ia sama sekali tak mendapat kabar apapun dari Lara. Berkali-kali ia menelpon dan mengirim pesan tetapi tak ada balasan apapun. Ia khawatir, tetapi tak bisa menemui gadis itu karena ayahnya yang kini sedang berada di rumah setelah perjalan bisnisnya ke Singapore kemarin. Saat menyantap makanannya pun rasanya masih tak tenang memikirkan gadis itu.

Setelah ia menyelesaikan makannya dan David juga kembali ke kamar, Karang menuju kearah belakang rumahnya. Disana sepi, hanya terdapat lampu taman dan pepohonan rindang yang terawat dengan jarak pembatas gerbang yang jauh. David memang sangat suka alam, jadi membuat rumah dua hektar ini seakan berada di tengah hutan sejuk dengan jalur setapak di setiap halaman rumah. Yang pasti tak akan meninggalkan kesan glamour ketika melihatnya.

Setelah memastikan semuanya aman, Karang membuka ponselnya. Mencari satu kontak nomor yang hendak ia hubungi. "Leo, gue minta tolong sama lo. Ini penting banget,"

"Ngapain telfon gue sekarang?! Bentar..."

Dari seberang, terdengar Leo dengan suaranya yang terdengar suara kegaduhan yang dibuat pemuda itu sendiri. Ah, pasti sedang main game.

"Leo, cepetan gue ngga ada waktu,"

"Apaan? Bokap lo nyuruh kerjaan apa? Kalo buat proposal ngajuin investor gue belum diajarin banget, masih taunya yang tipis-tipis,"

Belum sempat menjelaskan, Leo sudah duluan berspekulasi. Membuat Karang mendengus kecil memegangi pangkal hidungnya. "Bukan, bukan itu. Gue minta lo cari tau data orang. Kasi gue kelemahannya dia sertain semua lampiran buktinya," kata Karang langsung.

Tak ada respon beberapa saat. Hanya ada suara game yang bersautan dengan Leo yang bersorak kecil.

"Lo dengerin gue ngga sih?!" Karang sudah mulai tak sabar.

"Kenapa? Tumben amat? Oh... lagi ngejer cewek first love lo itu?"

"Gue ngga ada waktu buat ladenin pertanyaan lo Leo," ucap Karang cepat.

"Action figure Iron Man Mark IV,"

"Hah?" Karang kebingungan, tak tahu maksud sahabatnya. "Iron Man lo, kasih ke gue. Langsung gue kerjain, besok semuanya udah beres di tangan lo," kata Leo licik.

Action figure favoritnya yang ia beli saat kelas sepuluh yang seharga 18 juta itu? Serius? Itu mainan kesayangannya yang ia beli susah payah tanpa kedua orangtuanya tahu.

"Yang bener aja? Iron Man?? Wah... lo ngga kasian sama gue? Lo tau mainan itu suatu keajaiban buat gue karna bisa beli tanpa bokap tau, kok lo tega sih??" Karang berusaha memelas. Tak dapat berkata-kata saat temannya dengan tega meminta barang yang sangat ia jaga.

"Lo harus tau, sebenernya gue iri pas lo pamer. Bisa aja gue beli mah, kecil. Tapi gue mayan lupa, baru inget sekarang. Mumpung elo bener lagi butuhin gue,"

Sea For Blue Whales [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang