Be My?

2K 224 14
                                    

7 hari mereka menginap di rumah Rion. Caine tak menyangka akan merasa nyaman di sekitar keluarga Rion. Ia menikmati semua hal ketika berada disana. Memasak bersama Mama Shina dan Echi. Menemani Gin dan Rion memodif motor. Menemani Papa Noe bermain catur di teras. Banyak hal yang Caine rasakan, terutama kehangatan keluarga.

Kini ia tengah berbaring di tempat tidurnya. Senyum tak lepas dari bibirnya. Begitu menyenangkan, tak ingin itu semua berakhir.

Tiba-tiba telponnya berdering. Nama Gin muncul di layar hpnya. Tanpa lama langsung mengangkat, kemungkinan sesuatu yang penting.

'Caine, bisa kesini ngga? Ini Rion demam panas bgt, Mama Shina sama Papa Noe baru sampe Aussie, aku sama Echi gatau mau gimana lagi'

'Hah??? Aku ke apart Rion sekarang'

'Iya, thanks ya Caine'

'No need'

Dengan terburu Caine bersiap. Ia pakai sweater beige dan jeans panjang berwarna hitam. Membawa beberapa persediaan obat yang mungkin akan dibutuhkan oleh Rion.

Melaju dengan kecepatan tinggi. Motornya membelah jalanan malam dengan begitu lihai.

Tak sampai 10 menit untuk tiba di apartemen Rion. Berlari kecil sesekali, hingga tangannya bisa menggapai bel pintu. Terbuka, menampakkan Gin dengan kaos oblong hitam dan celana pendek putih.

"Mana Rion?" tanyanya panik.

"Ke kamarnya, Caine", Gin pimpin jalan menuju kamar Rion.

Lelaki yang tengah terbaring dengan tubuhnya yang basah oleh peluh. Bibirnya bergetar menggumamkan kata acak. Dahinya mengerut menahan pusing yang menerpa.

"Rion? Bisa denger aku?", tanya Caine perlahan.

Ia usap dahi Rion dengan tisu yang ada di nakas. Leher, hingga dada juga ia usap. Rion tak memakai baju hingga pundak dan dadanya terekspos membuat pipi Caine tanpa sadar memerah.

"Gin boleh ambilin kaosnya Rion?", Gin yang dari tadi berdiri di belakangnya hanya mengangguk berjalan ke walk-in closet Rion. Kembali dengan sebuah lekbong hitam.

Caine dengan cepat memasang lekbong itu ke tubuh Rion. Ia cek suhu tubuh Rion dengan termometer digital miliknya. 39,6°, cukup tinggi.

"Kenapa bisa demam?", tanyanya. Gin yang merasa bisa menjawab pun menjelaskan.

"Rion habis jatuh dari motor. Kemungkinan kaget", Caine mengernyit.

"Dia luka?", Caine tatap Gin yang hanya menggeleng.

"Tolong ambilin kotak obat dong Gin," Gin segera keluar dari kamar Rion mengambil hal-hal yang dibutuhkan oleh Caine.

Perlahan, Caine pasang plester demam ke dahi Rion.

"Rion, bangun sebentar yuk," Caine berbisik ke telinga Rion.

Perlahan kedua matanya terbuka, merah dan berair kentara menahan rasa sakit.

"Pusing? Duduk dulu bentar, minum obat dulu biar enakan," tanpa kata Rion menelan 4 butir obat yang Caine berikan dengan bantuan air.

"Caine, tidur disini aja," Caine merinding mendengar suara Rion. Serak hampir menghilang.

"Ada yang luka ngga? Coba aku obatin dulu biar ngga infeksi," Caine berkata. Perlahan Rion berbalik tengkurap. Luka lecet yang lumayan lebar dengan bekas darah kering terpampang membuat Caine meneguk ludahnya kasar.

"Lain kali jangan diem aja, Rion. Jangan jatuh ding," Rion hanya mengangguk patuh. Lukanya tidak terlalu sakit untuk Rion, ia hanya terkejut dengan kejadian tadi.

home with you | rioncaine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang