Saat tahu Keisya akan pergi dari mereka, detik itu juga dunia Ayunda serasa runtuh. Putrinya sendiri menginginkan pergi dari dirinya, Ayunda merasa ia kurang pantas disebut sebagai seorang ibu.
"Kei, mama memperbolehkan kamu pergi, tapi jangan sekarang. Kamu lagi sakit nak." Ayunda memandang getir pesan pamit Keisya di ponselnya. Sebenarnya Ayunda bisa merelakan Keisya keluar negeri jika tujuannya untuk keselamatan putrinya, namun kondisi Keisya sekarang membuatnya berpikir dua kali. Keisya tak bisa ditinggalkan sendirian. Tak ada yang memahaminya kecuali keluarganya sendiri.
Ayunda ditakutkan dengan bayang-bayang hidup Keisya di luar sana. Banyak orang yang awam dalam mental health, belum tentu ada yang bisa menyelamatkan Keisya jika penyakit skizofrenia itu kambuh.
Tidak, Ayunda tidak bisa berdiam diri dirumah. Itu membuatnya semakin tidak tenang. Daniel sudah beranjak dari tadi begitu pesan Keisya dibacanya, pria itu sedang mencarinya sekarang. Namun sampai kini tak ada kabar apapun. Ayunda semakin tidak sabar.
Ayunda mengambil tasnya, lalu mengirimkan pesan ke Keisya meskipun sedari tadi centang satu.
*
*
*Tangan dingin Keisya digenggam erat oleh Gavin. Cowok itu tersenyum seolah berkata semuanya akan berjalan lancar.
Sekarang mereka sudah berada di bandara. Ya, keputusan untuk melarikan diri sudah bulat. Meskipun terkesan nekat, mereka hanya ingin mencari kebahagiaan baru.
"Gavin, aku takut." Cicit Keisya, entah kenapa perasannya mendadak gelisah tak karuan.
"Ada gue, Kei."
Gavin mengusap keringat yang membasahi kening Keisya dengan sapu tangan. Pandangannya menurun ke bawah, tepatnya ke boneka bayi yang berada di gendongan Keisya.
Sebelum berangkat ke bandara, Keisya sempat mengamuk dan memecahkan barang-barang karena bayinya hilang dari pandangan. Saat itu Gavin mencoba menenangkan Keisya dengan sabar, namun tak kunjung berhasil. Keisya tetap histeris dan bertingkah tak terkontrol. Hingga Gavin harus terluka karena tak sengaja tangannya tergores gunting dan berdarah akibat menahan pergerakan Keisya yang mencoba melukai diri sendiri.
Saat itu otak Gavin mendadak buntu. Tak mungkin ia membawa ponakannya ikut pergi bersama mereka.
Namun, semua itu berakhir ketika Keisya menemukan boneka bayi milik Vina dulu. Dan Keisya berhalusinasi jika benda berbentuk bayi itu adalah anaknya.
Perasaan Gavin terhenyak saat melihat separah apa rasa sakit yang ditanggung Keisya akibat keguguran itu. Sampai-sampai Keisya bisa menganggap benda itu adalah bayinya. Gavin tak mungkin tega mengatakan jika yang didekap Keisya adalah sebuah boneka. Ia bisa membayangkan betapa terlukanya Keisya jika mendengar kalimat tersebut.
Akhirnya Gavin memutuskan untuk ikut menganggap boneka itu adalah bayi. Ia pura-pura biasa saja kendati emosinya naik turun saat melihat tatapan orang-orang kepada Keisya. Mereka menganggap Keisya gila, Gavin tahu itu. Ingin sekali ia mencolok mata orang-orang yang meremehkan wanita kesayangannya yang sedang rapuh itu.
"Apa lama lagi kita berangkatnya, Gavin?" Tanya Keisya.
"Hm, sekitar dua puluh menit lagi. Kenapa, Kei?"
"Aku mau ke toilet. Aku minta tolong kamu jaga Panji dulu." Keisya memindahkan anaknya secara perlahan kepada Gavin.
"Panji?"
Keisya terkekeh, "iya, nama anak aku Panji."
Gavin merasa tidak terima, "ck, gak elit banget namanya, Kei. Ganti gak?" Menurutnya nama Panji sangat tidak cocok untuk bayi delusi Keisya. Padahal banyak nama keren, kenapa Keisya malah memilih nama Panji?

KAMU SEDANG MEMBACA
DAMIAN [REVISI]
Подростковая литература⚠️ CERITA INI MENGANDUNG KEKERASAN SEKSUAL, MENTALHEALTH, SELFHARM, CACIAN DAN KATA-KATA KASAR. TOLONG BIJAK DALAM MEMBACA! Sudah end, belum direvisi! Awalnya kehidupan Keisya Amanda hanyalah kehidupan remaja pada umumnya. Ia gadis yang ceria, dan s...