EPILOG

8.2K 177 9
                                    

Seminggu berlalu, hari-hari dijalani dengan penuh kehampaan. Kakinya melangkah pelan, tanpa disadari membawanya kesebuah sudut tersunyi di tempat ini. Hatinya berdebar kencang, seolah rasa rindu itu akan meledak. Jika memungkinkan, ia sangat berharap bisa berbicara dengan seseorang yang berhari-hari ia pikirkan—seseorang yang sedang dirawat ditempat ini.

"Damian ... Apa itu kamu?"

Netra tua dan lelah itu menatap sendu kesuatu titik, rongga dadanya teremat kuat kala melihat putranya yang memakai baju pasien, sedang duduk dibawah pohon, mengasingkan diri dari petugas-petugas rumah sakit jiwa, dan semua orang yang ada ditempat ini.

Mereka mengatakan, jika Damian akan sulit berkomunikasi dengan orang lain, maupun keluarganya sendiri. Bahkan Damian sama sekali tak berbicara selama dua hari, terlalu tenggelam dengan dunia angannya. Tersesat dalam kehilangan, tak sanggup untuk merelakan. Sehingga menciptakan sebuah ilusi, yang menjadi dunia baru untuk Damian. Dunia yang hanya ada di kepala cowok itu, dan sulit bagi dirinya untuk keluar dari sana.

"Damian maafin papa ..." Daniel mengepal tangannya.

"Papa orangtua yang gagal untuk kamu ... Papa nggak bisa menjaga kamu, papa-" Tenggorokan Daniel tercekat sesak. "Papa mengabaikan kamu, Damian. Maaf ..."

Daniel sadar bahwasanya kata maaf yang ia ucapkan tak berarti apa-apa. Tak bisa mengubah hal yang sudah terjdi. Tak bisa menyembuhkan psikis putranya yang semakin memburuk.

"Papa, kalau nanti Mian sama bang Dean udah gede, kami akan jaga papa seperti superhero yang ada di tv tv itu!"

"Gak perlu gede, sekarang aja Mian sama Dean udah jadi hero kecilnya papa."

"Selamat hari ayah, papa! Mian sama bang Dean udah nyiapin hadiah untuk papa! Hadiaaah yang spesial ..."

"Hari ini Damian ada jadwal ke psikiater, pah. Damian mau cek up sama papa."

"Papa nggak bisa, papa ada rapat dengan klien penting. Lain kali papa akan temenin kamu ke psikiater, papa janji. Sekarang perginya sama bunda dulu ya."

Kehancuran Damian terlihat nyata dimata Daniel, ia terikut hancur melihat bagaimana hidup Damian sekarang. Daniel tak bisa melakukan apa-apa. Apa ini rasanya menjadi manusia tak berdaya? Ia sudah mengeluarkan banyak uang, begitupun Dewi yang mengorbankan banyak tenaga, hanya untuk mengobati penyakit yang diderita putranya akibat peristiwa traumatis itu. Namun, hasilnya sama sekali tak terlihat, terasa sia-sia.

"Kamu tau, Kei. Dari dulu sampai sekarang, cita-cita ku masih sama. Nggak pernah berubah." Damian menatap Keisya yang duduk disebelahnya.

"Aku masih ingin jadi dokter, hehe ..." Damian terkekeh miris. Tersirat kepiluan di kedua maniknya. "Bunda dulu seorang dokter, Kei. Tapi pas aku kena penyakit mental, dia terpaksa berhenti bekerja."

Damian menatap Keisya yang juga sedang menatapnya, setia mendengarkan cerita Damian yang mungkin tak ada habis-habisnya. Jangan lupakan jika Damian adalah orang yang banyak bicara atau kata lainnya cerewet, segala hal apapun itu bisa ia ceritakan. Makanya ada syarat yang harus diketahui semua orang, jangan menceritakan tentang sesuatu kepada cowok itu. Bisa-bisa itu menjadi topik obrolannya ketika ia kehabisan cerita.

"Padahal bunda belajar mati-matian biar bisa jadi dokter. Tapi bunda malah berkorban gara-gara aku." Damian menunduk sedih. "Makanya aku mau jadi dokter, biar bisa gantikan bunda."

"Tapi kayaknya udah gak mungkin lagi, kamu lihatlah kondisi aku sekarang. Bukannya mengobati, justru pasien aku nanti makin parah kalau aku yang menjadi dokternya."

Damian bisa melihat Keisya tergelak karena celetukkannya.

"Kamu kok malah ketawa, Kei? Nggak ada yang lucu malah sedih."

"Sebelum diobati, mendengar kalau kamu yang menjadi dokternya, mereka kabur duluan, Damian."

Mendengar itu, Damian terikut tertawa. Benar juga yang dikatakan Keisya.

Beberapa saat terasa sunyi, Damian masih menatap Keisya yang memandang kedepan dengan tatapan sendu. "Kapan ya papa datang ngeluarin aku dari tempat ini?" Ujar Damian tiba-tiba. "Aku bosan disini, Kei. Orang-orang disini aneh-aneh, aku masa disuruh temenan sama mereka."

"Ada ibu-ibu yang gendong boneka sambil nyanyi nina bobo. Ada bapak-bapak yang halu jadi polisi. Ada yang tiba-tiba sedih, ada yang tiba-tiba tertawa sendiri, ada yang ngomong sendiri kayak orang gila. Pokoknya orang-orang disini bikin aku pusing. Perawat disini kayaknya sedikit gila juga." Ujar Damian seolah tak sadar posisinya sekarang.

"Apa? Kamu bilang aku sama kayak mereka? Nggak ya, Kei. Aku masih waras, aku ogah disamakan sama mereka." Damian cemberut.

"Aku nggak pernah bicara sendiri?" Damian sedikit sensi saat Keisya mengatakan dirinya sering berbicara sendiri.

"Kapan aku bicara sendiri, Kei? Aku kan selalu ngobrol sama kamu."

"Sekarang pun aku gak ngomong sendiri. Aku kan lagi ngomong sama kamu, Keisya."

"Aku ngomong sama kamu sekarang! Aku nggak bicara sendiri! Kamu kenapa sih?!"

Ada ketakutan dibenak Damian. Dengan sangat jelas Keisya berada didepannya, bahkan berbicara padanya. Kenapa wanita itu menyebutkan dirinya sedang sendirian sekarang?

"Aku nggak lagi halusinasi!" Sungut Damian kesal.

"Cukup! Kita lupakan pembahasan itu! Aku udah muak!" Damian menendang batu kecil didekat kakinya. Apa yang salah dengan dirinya? Ia yakin jika Keisya sedang bercanda mengatakan itu, setiap kali mereka berbicara, Keisya pasti akan mengatakan hal yang sama. Damian sampai muak mendengarnya.

"Nggak, gue nggak halusinasi." Batin Damian berusaha meyakinkan dirinya.

Kehadiran Keisya begitu nyata dirasakan Damian. Hari-hari dirawat dirumah sakit jiwa, Keisya selalu datang padanya, dan Damian yakin sekali itu kenyataan.

Damian kembali menoleh ke arah Keisya yang terdiam. Tiba-tiba saja matanya terasa panas, mungkin rasa sesak yang dirasakan hatinya sekarang.

"Jangan ngomong gitu lagi, Kei. Aku takut ..." Damian memeluk Keisya secara tiba-tiba. "A-aku nggak mau dengar itu lagi."

"Kamu nyata, Kei. Aku nggak halusinasi, aku nggak halusinasi."

"Jangan tinggalkan aku, lagi ..."

Seseorang yang sejak tadi berdiri tak jauh dari Damian. Hanya terdiam tanpa berani mendekat. Ia merasakan nyeri luar biasa pada batinnya, tercabik-cabik oleh hal menyakitkan yang ada didepan matanya.

"Damian ... Kamu harus kuat ... Kamu harus bertahan ..."

"Maafin papa, maafin kebodohan papa."

"Tuhan, harusnya aku yang dihukum. Harusnya aku yang dihancurkan hidupnya. Bukan putraku."

"Tolong pindahkan rasa sakit Damian padaku, tolong salurkan ketakutannya padaku. Berikan kegelisahan dan kecemasannya hanya untuk aku. Biar aku yang merasakan, jangan anakku."

"Aku gak sanggup melihatnya seperti itu, benar-benar menyakitkan."

Karena yang Daniel lihat didepan sana. Hanyalah Damian seorang diri, ditemani boneka beruang besar yang sedang dipeluk cowok itu.

Itu hanya boneka, Damian. Bukan Keisya.

*
*
*
Rencananya epilog pendek-pendek saja. Lah ini malah kebablasan. Gapapa lah ya🤧

Apa kesan kalian untuk epilog cerita 'Damian'?

DAMIAN [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang