bab 6

67 7 0
                                    

Kian Santang terbangun dalam kegelapan pekat. Ruangan itu sunyi, hanya hawa dingin yang menusuk kulitnya.

Ia mencoba melangkah, tapi kakinya terasa berat, seperti terikat oleh sesuatu yang tak kasat mata.

"Ibunda?" Panggilnya, suaranya bergema di keheningan. Tak ada jawaban. Hanya deru angin yang berbisik di telinganya.

Samar-samar, ia mendengar lantunan ayat suci. Suara itu merdu, seperti dibaca oleh sekelompok orang. Kian Santang tak dapat mengenali bacaan itu, namun ia yakin itu adalah surat Al-Baqarah seperti ayat kursi.

"Āmanar-rasūlu bimā unzila ilaihi mir rabbihī wal-mu'minūn(a), kullun āmana billāhi wa malā'ikatihī wa kutubihī wa rusulih(ī),"

Saat mendengar ayat itu, tubuh Kian Santang terasa terbakar. Rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya, membuatnya ingin mencabik-cabik sesuatu.

"IBUNDA TOLONG AKU!" Teriaknya, suaranya penuh kepanikan. Ia berlari ke depan, berharap menemukan cahaya, namun nihil. Kegelapan masih menyelimuti ruangan itu.

Tangannya meraih sesuatu yang terasa seperti daging. Lapar yang menggerogoti perutnya membuatnya melahap daging itu dengan rakus. Seperti ada Cairan mengalir di tangannya.

"Raden kemarilah, Raden Kian Santang, Kemarilah!" Suara itu memanggilnya, tapi Kian Santang tak tahu dari mana asalnya. Ia menoleh ke sana kemari, mencari sumber suara.

Di tengah kegelapan, ia melihat sesosok bayangan yang sangat mirip dengan dirinya. Kian Santang menghampiri bayangan itu, rasa penasaran menggerogoti hatinya.

"KEMARILAH, PUTRA SLIWANGI!" Teriak bayangan itu, suaranya penuh amarah. Kian Santang hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

"Siapakah dirimu?" Pertanyaannya terlontar, tapi tak mendapat jawaban. Sebaliknya, ia merasakan sengatan tajam di perutnya. Sebuah belati telah menusuknya.

"Aku, sesosok jahat darimu, KIAN SANTANG!! Jiwamu bukan lagi di kuasai olehmu tetapi AKU!" Bayangan itu tertawa, suaranya menggema di ruangan itu.

Perlahan-lahan, cahaya mulai menerangi ruangan, tapi Kian Santang merasakan sakit yang luar biasa. Cahaya itu seperti menusuk jiwanya.
























............











Udara dipenuhi ketegangan saat amarah Kian Santang memuncak. Matanya, yang biasanya berbinar dan nakal, kini dipenuhi kekosongan yang mengerikan.

Ia menerjang Bibinya, gerakannya seperti bayangan amarah. Tangannya, kuat seperti baja, mencengkeram leher sang bibi menempelkannya ke dinding yang dingin.

"HENTIKAN, ATAU..." Suara Sari, yang biasanya tenang dan terukur, meninggi dengan tajam.

Kian Santang tertawa, tawa yang kejam dan hampa yang bergema di aula yang sunyi. "Atau apa, bibi? Atau kau akan membunuh aku? Sejak kau datang, istana ini terasa seperti mengusikku! Kau pembawa sial. Jika kau bukan adik ibuku, aku akan menyiksamu sampai mati!" Matanya, yang biasanya berbinar dan nakal, kini dipenuhi kekosongan yang mengerikan.

Sari berjuang melawan cengkeramannya, wajahnya berubah menjadi ungu. "R-raden, sadarlah, ini bukan dirimu! Raden Kian Santang, tolong! Aku bibimu, adik ibumu. Kau tidak akan..."

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Kian Santang menyerang. Tinjunya mengenai rahang adik Subang Larang, membuatnya terjatuh ke lantai. Ia menarik belati dari ikat pinggangnya, bilahnya berkilauan dalam cahaya redup. Saat ia membungkuk di atasnya, senyum bengkok terukir di bibirnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Misteri Of Raden Kian SantangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang