18 - Body Scent

286 33 5
                                    

Dear Readers, Happy Reading 💕

Ketika sudah berdiri di ruang tamu baru aku bisa bernapas lagi. Aku mencoba menenangkan dan mengingatkan diriku berkali-kali bahwa ini bukan pertama kalinya aku melihat laki-laki hanya bercelana dalam. Aku bahkan pernah melihat laki-laki dengan tubuh yang lebih bidang daripada Jen, yang bertelanjang dada.
Jadi, mengapa aku harus panik?

Satu-satunya jawaban yang keluar dari otakku adalah bahwa terakhir kali aku melihat laki-laki bertelanjang dada sekitar sembilan bulan yang lalu, dan laki-laki itu Mario. Satu-satunya orang yang aku coba lupakan selama sembilan bulan ini.

Aku kemudian duduk di sofa dan menyalakan TV, mencoba mencari channel yang bisa menarik perhatianku. Aku hampir saja loncat dari sofa ketika mendengar pintu kamar tidur dibuka.

"Jisoo, saya boleh buka jendela kamar tidur sedikit nggak?" Suara Jen terdengar agak ragu.

"Errr... boleh. Apa heater-nya terlalu panas untukmu? Saya bisa turunkan suhunya," balasku, setelah terdiam beberapa saat dan hanya menatap tubuhnya yang kini telah tertutup kaus dan celana piama.

Rasa kecewa karena tidak bisa melihatnya bertelanjang dada lagi muncul di kepalaku.

"Nooo... the heater is fine. Saya hanya perlu udara segar kalau tidur." Aku mengangguk.

"Pukul berapa kamu ingin dibangunkan?"

"Sekitar pukul dua pagi kalau kamu masih terjaga. Nggak usah repot-repot, saya bisa pasang alarm."

"Pukul dua pagi?" tanyaku terkejut.

Dia ingin tidur di apartemenku, di atas tempat tidurku semalaman? Sekali lagi aku harus menenangkan diriku. Ini bukan pertama kalinya ada laki-laki yang menginap di rumahku. Mario sering menginap di rumahku ketika dia datang berkunjung ke D.C. Dia juga pernah berkunjung ke apartemen ini dan menginap karena terlalu lelah untuk menempuh jarak 30 menit pulang ke apartemennya.

Sambil pelan-pelan mendekatiku di sofa, Jen menjelaskan situasinya.

"Pesawat saya ke New York berangkat besok pukul enam pagi dari Raleigh. Jadi, saya sebaiknya berangkat sekitar pukul setengah tiga dari sini supaya nggak terlambat."

Meskipun aku berterima kasih atas informasi tersebut, kelihatannya Jen tidak menyadari alasan sebenarnya mengapa aku berteriak beberapa detik yang lalu.

"Berapa lama kamu akan ada di New York?"

"Selama weekend ini saja, untuk memberi training. Saya akan kembali Minggu sore," jelasnya, sambil duduk di sofa dan menguap.

Melihat Jen seperti ini, aku jadi ingat pendapatku tentangnya ketika pertama kali bertemu dengannya di Fresh Market. Tiba-tiba aku ingin menyanyikan lagu "Ninabobo" untuknya.

"Oke," ucapku, lalu mengulurkan tanganku kepada Jen, yang juga mengulurkan tangannya kepadaku. Aku kemudian menuntunnya menuju kamar tidur.

Kulepaskan genggamanku pada tangannya, dan berjalan menuju jendela untuk membukanya sedikit agar ada udara segar yang masuk. Ketika aku berbalik badan, kulihat Jen sedang menatap tempat tidur sambil mengerutkan keningnya.

"Apa ada masalah dengan tempat tidur?" tanyaku ragu.

"Kamu selalu tidur di sebelah kanan," ucap Jen, kemudian menatapku. Aku mengangguk.

"Biar saya tidur di sebelah kiri, just in case kamu ingin tidur sebelum saya bangun." Jen kemudian berjalan menuju sisi kiri tempat tidur dan menyingkapkan selimut, kemudian naik ke atas tempat tidur dan perlahan-lahan membaringkan tubuhnya.

BLIND DATE || JENSOOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang