BAB 8

2 1 0
                                    

Terik matahari siang tak mengiringi kepergian gadis manis itu memenuhi janji. Farrah dan Naya bertemu di mall terbesar di Bandung. Mereka mengitari pusat perbelanjaan itu sambil melihat-lihat produk di stand.

Naya mengeluarkan beberapa lembaran merah demi mendapatkan barang kesukaan. Sementara Farrah menolak setiap kali gadis itu menawarkan barang yang sama.

Puas jalan-jalan dan shopping, mereka menikmati cemilan sore di kafe dengan nuansa estetik. Lokasi dan suasana cocok bagi mereka membahas persoalan yang menumpuk di dalam benak masing-masing.

Pelayan kafe membawakan dua gelas minuman yang sama, orange juice dan French fries melengkapi pesanan mereka.

"Far, kamu kenal Hanif di mana? Secara jurusan kalian kan beda," tanya Naya setelah pelayan kafe berbalik meninggalkan mejanya.

Naya menyeruput minuman segar itu setelah mengaduk sebentar. Farrah mendekatkan satu piring ukuran sedang french fries.

"Pertama kali aku ketemu Hanif, pada saat acara PKKMB di kampus. Waktu itu aku lupa lokasi jurusanku dan kebetulan ketemu Hanif. Dia yang nunjukin jalan dan nganterin aku."

"Wah, menarik juga kisah kalian." Naya tersenyum bahagia.

"Kisah apa? Biasa aja, kok." Farrah menyeruput minuman orange juice yang ada di depannya.

"Gak mungkin biasa aja, Far. Hanif serius, kok sama kamu." Naya mengambil satu buah french fries dan mencocolkan ke saus sambal lalu mengunyah perlahan.

"Kita cuma teman biasa, Nay. Gak lebih." Farrah pun mengambil satu french fries di piring dan mencampur dengan sedikit saus.

"Tapi Hanif serius sama kamu, Far." Naya membasahi bibirnya dengan orange juice.

Farrah menggigit sedikit french fries, menikmati rasa dicampur dengan sambal. Terasa lezat di lidah. Dia pun menghabiskan sisanya.

"Cukup tentang aku. Kamu sendiri, gimana? Kemaren itu aku gak sengaja lihat kamu di kampus sama seseorang. Kelihatannya kalian bahagia banget."

"Maksud kamu, Bang Firaz." Naya memastikan.

"Mungkin," jawab Farrah singkat.

"Aku dan Bang Firaz cukup dekat. Kami juga lumayan sering jalan bareng. Aku berharap hubungan kami berlanjut nanti ke jenjang yang lebih serius," terang Naya penuh harap.

Farrah terdiam. Wajahnya berubah muram. Perasaannya campur aduk. Dia kembali menyeruput orange juice menghilangkan dahaga yang tiba-tiba terasa di kerongkongan.

"Kalian kenalnya di mana?" tanya Farrah menahan perasaan yang bergemuruh.

"Dari sepupu aku. Waktu itu aku masih putih abu-abu. Sepupu aku bawa Bang Firaz ke rumah dan ngenalin ke aku. Saat itu kami lumayan sering berkomunikasi dan jalan bareng." Raut Wajah Naya dibalut ceria mengingat pertemuan dengan Firaz.

Ponsel pintar Farrah berdenting saat obrolan mereka terus berlanjut. Naya pun sibuk mengetik chat.

Farrah melirik Naya. Gadis itu tersenyum menatap ponselnya. Dia melanjutkan membaca chat dari Fairuz.

[Kamu di mana, Far. Aku gak lihat kamu di kontrakan.]

[Aku lagi di luar, Fai. Ada apa?]

[Far, papi pulang hari ini. Hari ini anniversary wedding Mami sama Papi. Nanti jangan lupa, dinner di kafe. Kata mami, kamu barengan sama Bang Firaz. Harus!]

Bagaimana pun keadaannya, Fairuz selalu memberi dukungan. Kesedihan yang dirasakannya bisa berkurang sebab ada sahabat terbaik tempat berbagi. Tak hanya suka, dalam duka pun gadis itu selalu hadir menemani.

Farrah harus mempersiapkan hadiah untuk mami dan papi Fairuz. Tak mungkin datang hanya dengan tangan kosong di hari bahagia keduanya. Apa lagi mereka merupakan keluarga terdekat saat ini.

"Nay, aku ada urusan sebentar. Kita berpisah di sini aja, ya." Farrah berdiri dan memasukkan ponsel ke sling bag.

"Oh, kamu udah mau pergi. Padahal aku masih pengen ngobrol sama kamu." Bibir Naya mengerucut.

"Lain kali kita bisa lanjutin obrolannya, Nay." Farrah memaksa untuk tersenyum.

"Sebentar lagi, ya, Far. 10 menit lagi." Naya menggenggam tangan Farrah memohon.

Farrah melirik jam yang melingkar di tangan. Pukul 14.40. Masih ada waktu kurang lebih satu jam lagi menjelang waktu Salat Asar masuk.

"Baiklah." Farrah mengaduk-aduk minuman yang masih sisa setengah.

Naya mengulas senyum sebab berhasil meyakinkan Farrah. Dia kembali menikmati hidangan yang ada di meja. Sesekali mengobrol dengan gadis bermata bulat itu.

"Farrah."

Farrah mendongak. Hanif sudah berada di samping. Matanya membulat menatap lelaki itu.

"Hanif?"

"Kamu, kenapa kaget?" tanya Hanif tersenyum. "Aku boleh gabung?"

Tak ada reaksi yang ditunjukkannya selain terpaku menatap kehadiran Hanif. Dari sekian banyak kafe, kenapa bisa mereka bertemu di tempat yang sama? Hal itu terlintas dalam pikiran Farah.

Naya menatap Farrah yang belum menjawab pertanyaan Hanif. Dia pun berinisiatif memberitahu.

"Boleh, Han. Boleh banget."

Tanpa persetujuan Farrah, Hanif duduk di sampingnya.

"Nay, maaf aku harus pulang sekarang." Farrah berdiri.

"Farrah, kenapa buru-buru?" Hanif menggenggam tangan Farrah.

Sungguh tak disangka, seseorang telah memperhatikan adegan itu dari saat Farrah terpaku menatap Hanif. Segala macam pikiran sudah menumpuk di benak lelaki itu.

Lain halnya dengan Naya. Dia tersenyum bahagia menyambut kedatangan Firaz yang masih berdiri di pintu masuk.

"Hai, Bang Firaz!" Naya melambaikan tangannya.

Dahi Farrah berlapis mendengar ucapan Naya. Gadis itu melambaikan tangan. Apa Firaz juga ada di sana? Farrah menarik tangan dari genggaman Hanif lalu memutar kepala menoleh ke pintu masuk.

***

Berubah Dingin (Ada apa dengan Firaz?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang