GHINA HATANI

16 1 0
                                    

Ghina’s POV

Namaku Ghina Hatani, sering dipanggil dengan nama Ghina. Jika kalian sadar, dibelakang namaku ada kata ‘tani’, itu menggambarkan pekerjaan orang tuaku. Ya, aku hanyalah seorang anak petani yang beruntung bisa tinggal di kota. Orangtuaku berada disebuah desa kecil, di kota aku hanya menumpang di kediaman bibi dan pamanku.

Aku merupakan anak tertua dalam keluargaku, jadi tak heran jika sifatku benar-benar seperti anak sulung pada umumnya. Aku memiliki dua orang adik, umur nya tak jauh beda dariku. Mereka hanya bisa bersekolah di desa yang ditempati oleh keluargaku, sebab orangtuaku tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan mereka di tempat yang bergengsi.

Aku juga membantu perekonomian keluarga dengan cara bekerja part time di caffe dekat sekolah. Semua yang kulakukan untuk memastikan adik-adikku bisa melanjutkan pendidikan mereka. Tapi, terkadang aku juga memiliki perasan yang iri kepada teman-temanku yang lain. Disaat yang lain membahas ingin melanjutkan pendidikan mereka ke universitas, sedangkan aku hanya bisa mendengarkan dan membayangakan jika aku bisa memakai salah satu almamater kebanggan kampus, menjadi sarjanawan pertama dalam keluargaku, tetapi semuanya itu adalah sebuah mimpi yang akan terkubur sangat dalam. Mendengarkan harga uang kuliahnya saja aku sudah sangat mual.

“Ghina, ayo ke kantin”. Aku tersadar dari lamunanku ketika seseorang menyebutkan namaku. Dia Aurora, si gadis cantik yang kehidupannya seperti seorang putri di suatu kerajaan. Wajah yng cantik, tubuh yang ideal, bahkan ia mampu memainkan beberapa alat musik, benar-benar gadis yang sempurna.

“Lo pergi aja sendiri, Ra. Gue gak bisa”. Aku menolak ajakan Aurora. Tidak, bukan karna aku tak suka, tetapi aku tidak memiliki uang untuk membeli makanan di kantin sekolah, sebab uang hasil gajiku sudah ku kirimkan kepada orangtuaku.

“Udah, ayo. Kali ini gue yang traktir, lo tenang aja. Jadwal gue Minggu ini, kan?”
Aku tampak berfikir sejenak, ini memang jadwal nya Aurora untuk mentraktir, tapi perjanjiannya mentraktir makanan yang berada di kedai kopi,  bukan di kantin sekolah!

“Ayo, cepetan. Enjel udah disana, nanti tantrum tuh anak” ucapnya kembali.
Akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Tak salah jika menerima rezeki yang diberikan, lagian juga ini sudah menjadi kesepakatan mereka semenjak saling mengenal satu sama lainnya.

Aku dan Aurora berjalan bersama dan saling beriringan. Banyak murid yang berlalu lalang, beberapa murid menyapa atau bahkan sekadar tersenyum, bukan kepadaku tetapi ke arah Aurora, ini adalah rahasia umum jika Aurora menjadi pribadona disekolah. Kecantikan wajahnya menjadi nilai plus.

Tak butuh waktu lama untuk kami sampai di kantin, sebab jarak antara kelasku dan kantin hanya beberapa meter. Banyak siswa yang berbondong-bondong untuk mengisi perut mereka yang kosong sebelum pembelajaran kembali dimulai.

Mataku menjelajahi setiap sudut kantin, mencari seseorang yang sudah menunggu kami. Apa yang dikatakan Aurora memang benar, di meja pojok sudah ada gadis cantik yang duduk sembari membaca bukunya. Namanya Enjel, si penyuka buku. Terkadang dia kemana mana selalu membawa buku, katanya dengan membaca buku ia dapat menjelajahi dan mengelilingi dunia.  Tak heran jika dia menjadi salah satu penyumbang piala dan medali disekolah.

“Sialan, gue butuh waktu sekitar 10 menit untuk menunggu kalian sampai dikantin”. Baiklah aku melupakan sikapnya yang selalu menghitung waktu, dan juga mulutnya yang tak pernah berhenti mengumpat.

“Brisik, lo.” Enjel hanya memutarkan bola matanya malas. Pemandangan inilah yang selalu aku lihat setiap hari. Terkadang aku selalu berfikir, bagaimana bisa aku memiliki teman seperti mereka. Tak pernah terbayangku menjadi teman akrab seperti mereka memiliki nilai plus dimata orang-orang. Aurora si primadona sekolah, dan Enjel si murid yang cerdas, sedangkan aku? Aku hanyalah anak desa yang beruntung mendapatkan beasiswa.

How Can We Do?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang