Gue Saka. Usia gue sekarang terbilang udah cukup matang buat berumah tangga, tapi gue belum siap aja. Bukan tentang finansial—nggak mau dibilang sombong kalau urusan yang satu ini, secara penghasilan gue sendiri berada di kelas atas managerial yang kalau ponakan gue minta sepatu kaca kayak Cinderella pun gue sanggup cari ke ujung dunia. Tepatnya ke mental gue yang belum siap menjadi kepala rumah tangga. Lo bayangin sebesar apa itu tanggung jawab Ryshaka Ramaputra Digorahadi yang namanya akan tertulis paling atas di kolom Kartu Keluarga?
Gue ini cowok, dimana tanggung jawabnya lebih besar atas keberlangsungan hidup seseorang yang akan gue ajak sampai menua. Nggak soal materi aja, tapi kebahagiaan pasangan gue juga harus gue jamin di depan orang tuanya dan Tuhan gue.
Gue belum siap melaksanakan tugas dan tanggung jawab itu, karena gue merasa tanggung jawab ke diri sendiri dan tanggung jawab atas nasib ribuan pekerja di tangan gue aja kadang nggak becus? Gimana gue mau ngurusin anak orang dah?
Tapi... yah, sebagai anak bungsu pun gue hampir nggak bisa apa-apa kalau setiap hari direcokin Mami sama kak Raisha perihal: "Kapan mau bawa calon menantu ke rumah?"
Terlebih mulut kakak gue yang kejamnya udah selevel ibu tiri Cinderella. "Kerja mulu lo kayak kesusahan duit aja. Gimana mau kawin kalau kerjaan kantor lo pacarin terus."
Lah, emang gue gila kerja dan butuh duit buat bayar tagihan KPR yang masih berjalan kok? Kalau gue nggak kerja, nggak berpenghasilan, mau dibayar pake apa tuh rumah yang sebentar lagi otw lunas? Daun kelor?
Mentang-mentang hidup keluarga gue udah enak dari gue belum lahir, gue tau diri sebagai anak apalagi terlahir bungsu ya harus kerja dan menghasilkan pundi-pundi uang untuk membiayai hidup gue sendiri. Mana mungkin gue terus bergantung di ketek Mami Papi terus? Walaupun jabatan gue sekarang adalah hasil privilege dari Papi yang sebentar lagi akan lengser dari dunia bisnis dan gue yang menjadi pewaris berikutnya, tetap aja kan gue nggak boleh bersikap nggak tau diri?
Dan... gue nggak segila kerja gitu juga kali. Gue masih tau tuh cara menikmati hari weekend walaupun tempat yang selalu gue datangi adalah rumah kakak gue. Siapa lagi yang gue kangenin tiap hari kalau bukan Ameera, ponakan cantik gue satu-satunya yang sukses bikin gue bucin tingkat akut.
Karena itu juga gue selalu kena omel kak Raisha. Katanya, daripada bucinin anak orang mending bikin sendiri.
Dikata nikah dan bikin anak itu segampang balikin telapak tangan, bro?
"Nggak bisa ya lo dibiarin membujang lapuk gini sampe umur lo 35. Malu sama ponakan lo nggak sih, dek? Masa entar anak-anak gue udah pada sekolah, lo baru mau nikah dan belum tentu juga cepat punya anak? Kasihan Mami Papi lah udah ketuaan gendong cucu."
Sabar... sabar. Orang sabar biasanya disayang Tuhan.
"Ya terus gue kudu gimana? Nikah nggak segampang itu, sis."
"Paling enggak lo ada usaha cari pasangan, gitu!"
"Iya, entar."
Saking udah jengah sama jawaban gue yang begitu-gitu mulu, kak Raisha melempar bantal yang ada di sofa tepat mengenai wajah gue yang ganteng kayak bule arab ini.
"Ame... uncle dijahatin Mama kamu nih..." Adu gue ke Ameera yang lagi asyik gigit-gigit mainannya. Mau numbuh gigi.
"Heh! Jauh-jauh deh lo dari anak gue! Entar gedenya jadi nggak laku kayak lo lagi!" sebal kak Raisha melototi gue tajam.
"Apa korelasinya ke sana coba?! Nyebelin banget lo kayak—"
BUGH!
Lagi-lagi bantal sofa mengarah ke wajah gue. Rasanya? Anjing banget!
"Biasa aja dong! Tantruman amat jadi manusia!" amuk gue sambil memunguti bantal sofa yang berserakan di lantai. "Kayak kurang belaian suami bae dah!"
"Emang lakik gue lagi syuting di luar kota, mau apa lo!"
"Siapa suruh nikah sama aktor."
"Diam."
"Nggih, ndoro."
Gue angkat tangan sebelum ibu beranak satu itu berubah menjadi benteng ngamuk. Nyeremin kalau tanduknya udah keluar satu. Kalau ada pawangnya, gue yakin kakak gue mah nggak sesetan ini.
"Mami udah cariin lo jodoh, dek."
Pardon????
"Udah ada kandidatnya. 5 orang, tapi yang lolos standar kualitas jadi adek ipar gue cuma satu."
"Buset! Udah kayak tes CPNS aja pake seleksi segala."
Tatapan tajam mengarah ke gue. Pertanda gue nggak perlu komentarin apa-apa, cukup jadi penyimak yang baik ketika dia ngomong.
Dengan kata lain, "Mulut lo bisa diam nggak."
"Oke. Bisa."
Kak Raisha menceritakan semua kandidat tersebut yang menurut gue bukan hal yang harus gue simak baik-baik. Sambil scroll up layar hapenya, mulut kakak nyerocos tanpa henti. Gue ngebatin dan capek sendiri mendengarkan cerita yang nggak-penting-dan-apa-peduli-gue sama mereka? Ini kapan tanda titiknya, sih?
"Butuh 3 hari doang gue uji semua cewek yang mau Mami kenalin ke elo. Menurut gue, dia ini yang cocok sama lo sih, dek."
Kak Raisha menghadapkan layar hapenya ke gue. Terpampang foto seorang cewek cukup cantik, sekilas di mata gue karena gue benar-benar udah hilang minat. Terlebih dengan perjodohan. Mau dia anak siapa kek, gue nggak peduli sama sekali.
"Biasa aja," komen gue acuh.
"Gigi lo biasa aja!" Kak Raisha menempeleng kepala gue. Gue menatapnya tajam.
"Standar cantik di mata orang kan beda-beda, kak. Nggak bisa lo sama ratain gitu aja," protes gue.
"Iya, gue tau. Gue paham. Tapi lo tadi liatnya ogah-ogahan. Gue tau ya. Jangan ngelak lo," ngototnya ke gue.
Sial. Kenapa harus tau banget sih segala tetek bengek gue? Heran.
"Gue yakin pilihan gue ke cewek ini nggak akan salah. Mami udah setuju juga. Tinggal lo mau apa enggak. Kata gue ya coba aja dulu. Nggak ada salahnya kan? Lagian gue yakin, amat yakin lo bakal kepincut. Nggak mungkin enggak. Gue berani jamin 1.000.000%!"
Gue mencebikkan bibir. "Sotoy banget lo, kak."
"Apa sih yang nggak gue tau tentang lo? Size kolor lo aja gue tau. Apalagi tipe cewek yang lo suka?"
Hm. Iya dah.
"Besok temuin dia di Wolfgang's pas jam makan siang. Gue udah bilang ke sekretaris lo buat kosongin jadwal dari jam 11 sampai jam 2 siang. Gue dan Mami udah reservasi tempat buat lo meet up sama Sabriena."
Oh, jadi nama cewek itu Sabriena?
"Kalau gue nggak mau?"
Kak Raisha tersenyum dengan tenang. Senyum yang bikin gue dag dig dug serrrr karena gue nggak pernah tau apa yang ada di otaknya sekarang.
"Gue nikahin sama lady boy di Thailand, mau?"
Monyet.
"Iya-iya, besok gue janji meet up sama Sabriena." Gue menyetujuinya dengan pasrah. "Puas?"
Begini ceritanya gimana gue bisa bertanggung jawab atas suatu pilihan kalau gue nggak dikasih kesempatan untuk memilih jalan hidup gue sendiri? Gue masih terlihat seperti anak kecil kah?
KAMU SEDANG MEMBACA
From Zero to I Love You
FanfictionPerjodohan diterima. Nikahnya dadakan. Gimana Saka mau bangun rumah tangga kalau bibit cinta saja belum tumbuh?