4. Hidup Sabriena

30 8 0
                                    

Memiliki keluarga yang sangat berada dan harmonis, berprestasi, menjadi lulusan terbaik dan kini meniti karir cemerlang di salah satu lembaga keuangan pemerintah. Orang-orang menilai bahwa hidupku sudah sempurna. Namun, itu semua hanya terlihat dari luar saja agar kedua orang tuaku dinilai sebagai orang tua yang baik, penyayang dan selalu mendukung keinginan anak-anaknya.

Aku tidak pernah merasakan kasih sayang mereka lagi setelah 6 tahun aku resmi diadopsi, bayi perempuan yang sudah sangat ditunggu-tunggu dari sekian tahun, notabene bukan adik kandungku, akhirnya hadir di keluarga kaya raya itu. Ya, keluarga angkatku.

Aku tidak sebodoh yang mereka pikirkan. Dengan usiaku yang masih belia pada saat itu, aku tau pengadopsian diriku dalam keluarga ini hanya sebagai pendorong agar mereka nggak menyerah di tengah jalan untuk memiliki anak dari darah daging sendiri.

Ketika anak itu sudah lahir, aku dilupakan, dianggap sebagai pajangan keluarga, lalu dicampakkan walaupun segala kebutuhanku dipenuhi sebagai rasa tanggung jawab.

Aku benar-benar tidak pernah merasakan arti kasih sayang dari mereka. Mereka hanya fokus menyayangi dan membahagiakan Ratu, adikku.

Ketika aku meminta sedikit perhatian, tatapan mereka seolah-olah berkata 'urus saja hidupmu, akan kami biayai dan kami tidak membutuhkan kamu lagi.' Itu sangat menyakitkan.

Aku juga ingin diperhatikan, dipuji, segala hal dirayakan dan diberikan apapun yang ku inginkan. Namun aku cukup tau diri. Aku bukanlah darah daging mereka, dan pada akhirnya menyimpan keinginan dan rasa sakit itu semua rapat-rapat.

Ya, aku tidak pernah diberi kesempatan untuk bersinar seperti yang mereka lakukan pada Ratu.

Dan ketika aku beranjak dewasa, dimana aku memutuskan untuk pergi dari rumah, menghasilkan sejumlah uang dan membiayai hidupku sendiri, mereka menemuiku dan mengatakan bahwa aku sudah dijodohkan dengan seorang pria mapan dari keluarga yang lebih kaya. Mereka tidak menerima alasan apapun ketika aku mencoba untuk menolak.

Dan lagi-lagi, kalimat menyakitkan ku terima dari rasa acuh mereka selama ini.

"Harusnya kamu berterima kasih pada kami. Kami yang berjasa besar membuat hidupmu nyaman, bersekolah di tempat yang bagus sampai mendapatkan kerja yang layak dan memilihkan calon suami yang setidaknya kami tidak pusing memikirkan hidupmu lagi dan terus-terusan menanggung beban jika kamu kembali menjadi yatim piatu."

Aku ingin tertawa saat itu juga. Sejak kapan mereka berjasa besar atas hidupku? Aku bersekolah di tempat yang bagus bahkan diterima di universitas yang bergengsi karena kemampuanku, prestasi cemerlangku demi mendapatkan beasiswa penuh. Tidak pernah sekali pun aku menggunakan uang dari mereka untuk biaya pendidikan sampai aku mendapatkan gelar sarjana.

Aku mendapatkan pekerjaan yang layak juga karena kemampuanku. Tidak pernah aku meminta dicarikan pekerjaan walau mereka memiliki banyak koneksi dimana-mana.

Omong kosong rasa tanggung jawab sebagai orang tua.

Baiklah, jika memang itu yang mereka inginkan. Maka, aku tidak punya pilihan selain menerima perjodohan yang sudah mereka atur demi kenyamanan hidupku. Lebih cepat lebih baik meninggalkan orang-orang yang tidak pantas disebut sebagai keluarga ini.

"Aku harap kamu bisa pertimbangkan keinginanku, Saka. Hanya tidak lebih dari itu yang ku minta," ucapku pada Saka setelah obrolan singkat kami di pertemuan pertama ini berakhir.

Aku setuju memberinya lebih banyak waktu untuk membuat keputusan. Tidak mudah baginya untuk menerima begitu saja perjodohan ini walaupun aku tau dia bukan laki-laki yang senang dijodohkan dengan wanita asing sepertiku.

"Seperti yang kamu bilang, tidak ada jalan untuk kembali. Sebelum kamu bilang seperti itu, ketika aku sudah memutuskan melangkah ke tempat ini, aku sudah sangat siap untuk menghadapi segala resiko apapun yang terjadi kedepannya. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan keraguan ku jika di pertengahan jalan nanti aku mau putar balik. Aku harus bertanggung jawab dengan pilihanku."

Aku menunjukkan keseriusanku agar Saka percaya. Aku bukanlah seseorang yang akan ingkar pada ucapannya.

"Are you sure?" tanya Saka sekali lagi. Aku menganggukkan kepala. "Kehidupan yang kita jalani akan berbeda loh? Nggak ada istilahnya pernikahan buat coba-coba. Lagi pula, aku nggak mau ada pernikahan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Udah paling benar nikah sekali seumur hidup."

Aku tertawa dalam hati. Siapa yang tidak mau begitu; menikah cukup sekali dalam hidup?

"Intinya sama-sama berkomitmen 'kan?"

"That's the point."

"Baik, akan aku usahakan semaksimal mungkin." Aku mengulurkan tangan, Saka membalas uluran tanganku. Kerja sama ini resmi terjalin, dari sudut pandangku.

"Aku juga bakal melakukan hal yang sama. No worry jadi berat sebelah. Tapi—"

Saka tersenyum dengan lesung pipinya yang manis itu. Sangat menggangguku.

Dan... dia masih menggenggam tanganku.

"Kalau suatu saat komitmen ini memudar, aku nggak mau kita tutup mata dan lepas tangan mengakhirinya. People said, all roads lead to Rome, right? Karena itu aku bakal terus coba menemukan jalan. Kegagalan dalam kamus hidupku nggak pernah ada."

From Zero to I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang