3. Negosiasi

39 8 0
                                    

Di awal pertemuan ini, Saka tidak begitu mencolok memperkenalkan dirinya sebagai seorang GM perusahaan kecantikan yang memiliki kesibukan dan jadwal yang super padat melebihi artis beken metropolitan. Jam terbangnya tidak bisa dijadikan tolak ukur buat pekerja kantoran yang menganut sistem nine to five.

Berbeda dengan Sabriena yang pekerja kantoran biasa, yang gajinya juga biasa saja dan cukup untuk membayar tagihan sewa apartemen tiap bulan, transportasi ke kantor, makan dan menabung. Normal bekerja 8 jam dalam sehari. Lembur jika memang butuh, namun tidak sesering itu pula. Dalam sebulan bisa dihitung dengan jari berapa kali ia lembur sampai jam 9 malam—tidak akan lebih dari ini.

Jika Saka hanya punya sedikit waktu untuk menikmati weekend, justru Sabriena punya banyak sekali waktu luang walaupun tidak ada yang ia lakukan. Hanya menghabiskan waktu menyendiri di dalam studio apartemennya, terkadang bertemu dengan teman-teman dekat dan hang out.

Mereka memang berada di jalur yang berbeda—untuk masalah karier, namun untuk menemukan seseorang sebagai tempat pulang setelah menjalani hari yang berat seakan takdir menempatkan mereka di garis lurus yang sama walaupun melalui perjodohan.

C'mon, Saka. Cari obrolan apa kek daripada liatin terus-terusan. Iya, tau. Sabriena emang cantik banget kok!

Batin Saka cukup tersiksa dengan atmosfer di sekitarnya yang 90% mengandung kadar kecanggungan. Melihat Sabriena yang tetap tenang dalam diamnya, Saka mulai kebingungan mencari topik obrolan lain.

Sejatinya Saka ingin mengenal lebih tentang Sabriena, tetapi jiwa lelaki penggoda yang sudah terkubur lama bertahun-tahun itu sedang insecure dengan diri sendiri. Kemana sih, Saka yang dulu jago banget bermanis mulut mengatakan rayuan maut?

"Saka."

"Ya?"

"Saya boleh mengatakan sesuatu?"

"Sure," jawab Saka dengan alis terangkat sebelah. "Memangnya ada aturan di sini untuk dilarang ngobrol?"

Sabriena tersenyum tipis. Sambil menatap cangkir gelas teh klasik di meja, dan tangan yang saling bertumpu menggenggam erat dengan gelisah, "Tolong kamu terima perjodohan ini."

Saka menghentikan gerakannya ketika akan menyesap secangkir espresso. Cangkir itu ia letakkan kembali di meja, mengangkat kaki menyilang dengan tangan terlipat di dada dan alis saling bertautan menatap Sabriena.

"Saya tau sampai kapan pun kamu tidak akan bisa terima perjodohan ini dengan lapang dada. Tapi, saya mohon kerja sama dari kamu. Kalau perlu, saya bersedia menandatangani perjanjian di atas materai perihal perjodohan ini sebatas kontrak bisnis semata. Saya harap kamu bisa pertimbangkan keinginan saya."

Saka ingin sekali bertanya, kenapa? Kenapa Saka harus menerima perjodohan? Apa Sabriena sudah lelah, frustasi dan pada akhirnya pasrah mencari pasangan dengan wajah good lookingnya itu? Apa dirinya sedang merasa insecure bahwa tidak ada pria yang mendekatinya karena background keluarga yang cukup berpengaruh di dunia bisnis?

Namun Saka pendam rasa penasarannya, karena dari yang Saka perhatikan sampai detik ini Sabriena seakan memberi batas untuk tidak mencampuri kehidupan satu sama lain.

"Pertama, aku disini bukan untuk membuat kesepakatan bisnis sama kamu, Sabriena. Aku ke sini untuk berkenalan, dengan santai, yah walaupun bajuku saat ini nggak bisa dibilang santai juga karena kebetulan sebelum aku ke sini ada schedule di luar kantor."

"So, aku harap kita bisa hilangkan sejenak formalitas yang kesannya sangat bisnis walaupun aku tau perjodohan ini dimulai juga karena bisnis mutualisme di keluarga kita. Terserah kamu mau panggil aku apa, senyamannya kamu, tapi kalo bisa jangan kaku begitu seakan-akan kamu lagi bertemu client."

"Dan yang kedua, maaf sebelumnya. Aku nggak berniat mencari pasangan buat main-main, Sabriena. Kamu tau konsekuensinya apa? Ya, benar. Komitmen."

Sabriena terdiam dengan tangan mulai berkeringat dingin. Saka menghela napas, lalu memijat pelipisnya.

"Kasih aku waktu." Ada jeda yang Saka berikan sambil ia menatap Sabriena seakan kalimat yang dilontarkannya barusan tidak akan ia ingkari.

"Tapi, kamu harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi baik itu dari keluarga ku maupun dari keluarga kamu. Karena sekalinya kita menyetujui perjodohan ini, nggak akan ada jalan buat kembali ke titik awal. Kamu paham kan?"

Ya, Sabriena sudah memikirkannya dengan sangat matang. Bahkan jauh sebelum pertemuan mereka terjadi.

Bagaimana pun, Sabriena harus bisa bebas dari orang-orang itu. Ya, keluarganya. Keluarga yang sangat sempurna hanya terlihat dari luar saja.

From Zero to I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang