"Terima kasih," ucap Saka tersenyum menampilkan lesung pipinya setelah pelayan perempuan mengkonfirmasi kembali pesanan. Sabriena yang memerhatikan sedikit merasa terganggu dengan senyum Saka yang kelewat ramah dan hal itu bisa menimbulkan kesalahpahaman pada pelayan perempuan tadi yang tersipu malu sebelum mengantarkan catatan pesanan mereka ke bar kitchen.
Apa semua cowok memang begini? Batin Sabriena bertanya-tanya. Mengganggu.
Tunggu, barusan ini Sabriena kesal? Untuk apa?
"Oke!" Saka mengagetkan Sabriena ketika laki-laki itu mencondongkan tubuh dan menatapnya lurus. Sabriena salah tingkah.
"Sebelum obrolan kita panjang, aku mau make sure satu hal sama kamu, Sab."
Sabriena mencoba untuk tenang. "Baik, silakan."
"Kamu menyetujui perjodohan ini bukan karena paksaan dari orang tua kamu 'kan?"
Sabriena mengangguk. "Iya, memang keinginanku sendiri. Kenapa?"
"Alasannya apa? Aku butuh itu."
Saka masih menatap Sabriena seolah ia menuntut jawaban yang bukan hanya dijadikan alasan belaka. Jika memang bukan adanya keterpaksaan, bukankah pertanyaan Saka sangat mudah untuk dijawab?
"Kalo emang itu keinginan kamu, aku tetap butuh alasan: kenapa. Aku aja yang cowok, kalo bisa nggak usah ada acara dijodoh-jodohin segala. Apa lagi kamu cewek, Sab. Kamu diam aja cowok-cowok udah pasti berdatangan dan berlutut di hadapan ka—"
"Nggak segampang itu ya, Ryshaka."
Saka terkejut saat Sabriena memanggil nama lengkapnya dengan intonasi tegas. Tatapan tajam itu membuat Saka menciut. Mati gue!
"Menyetujui perjodohan memang keinginanku, tapi jangan pernah kamu berpikir semua perempuan berparas cantik sangat mudah untuk menerima seorang laki-laki. Kamu pikir perempuan seperti ini manusia gampangan?"
"Bu-bukan gitu maksud aku—"
"Iya, aku paham. Tapi kata-kata kamu barusan menyiratkan hal itu ke aku."
Saka terdiam. Ia tidak bisa membela diri di hadapan Sabriena.
"Aku putus topik ini sampai di sini, karena aku nggak mau obrolan kita menimbulkan masalah baru." Sabriena menghela napas sejenak, menetralisir kekesalan dalam dirinya sebelum kembali melanjutkan. "Ya, memang keinginan ku menyetujui perjodohan ini tanpa paksaan dari kedua orang tuaku. Itu karena aku percaya kalo pilihan orang tua sudah pasti yang baik buat diriku entah sekarang atau buat masa depan. Sudah cukup jadi alasan yang bisa kamu terima saat ini?"
Alasan yang sangat klise, namun Saka memutuskan untuk mempercayai jawaban Sabriena. Hanya sampai disitu. Toh, alasan seperti apa lagi yang harus Saka cari tau lebih dalam jika Sabriena membentengi dirinya lebih kuat dari baja? Seakan tidak sisi celah yang bisa Saka tembus.
"Oke. Udah cukup." Saka mengangguk. "Dengan begitu, aku bisa tegasin kalo detik ini nggak ada perbisnisan dalam hubungan kita kedepannya. Nggak ada yang namanya hubungan kontrak. Karena jujur, aku nggak mau menjalani suatu hubungan dengan keterpaksaan. Mau nanti akhirnya kita menikah atau tidak, aku nggak mau kita berpura-pura, apalagi di hadapan keluarga masing-masing. Aku nggak mau hal itu kita lakuin. Cukup kita jalani sesuai porsi yang kita mau seperti apa. Kamu bisa terima?"
Sabriena diam beberapa saat. Jika dikilas balik, ia belum pernah menjalani suatu hubungan spesial dengan laki-laki. Dulu pernah menyukai seseorang, namun tak pernah berakhir memiliki hubungan dengan orang yang ia suka. Sabriena lebih memilih memendamnya daripada mengungkapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Zero to I Love You
FanficPerjodohan diterima. Nikahnya dadakan. Gimana Saka mau bangun rumah tangga kalau bibit cinta saja belum tumbuh?