"Baru pertama kali gue ngantar Lo pulang," ucap Yudit sambil menerima helm yang diserahkan oleh Anggi.
"Makasih, ya, Dit. Padahal baru ketemu tapi udah ngerepotin aja," kata Anggi.
Yudit melihat rumah wanita itu yang begitu sepi. Seperti tidak ada penghuninya, ya, walaupun ada Anggi yang menghuni rumah tersebut. Tapi, tetap saja rumah itu terlihat sangat sepi, sama seperti pemiliknya yang terlihat kesepian.
"Ada apa?" tanya Anggi.
Yudit menggeleng. Lalu, dia teringat akan cerita Dewi mengenai hubungannya yang sedikit renggang walaupun tidak ada pertengkaran di dalamnya. Yudit ingin sekali membahasnya, namun dia tidak berhak ikut campur dalam urusan kedua temannya dan juga Anggi. Belum tentu wanita yang ada di depannya sekarang akan menjadi perusak hubungan orang. Yudit sudah mengenalnya, dan itu tidak mungkin akan terjadi.
"Lo nggak pulang?" tanya Anggi.
"Lo ngusir gue?" Yudit balik tanya.
"Ya, enggak juga, sih. Mau mampir? Tapi rumah gue nggak ada siapa-siapa," kata Anggi.
Yudit tersenyum. "Lain kali aja," katanya.
Dering telepon milik Anggi berbunyi. Anggi mengangkat panggilan tersebut. Yudit memperhatikan mimik wajah wanita itu dengan saksama. Rasa khawatir dan panik sekaligus bercampur aduk. Anggi mengakhiri panggilannya. Dia terlihat sedang menenangkan dirinya sendiri.
"Ada apa?" tanya Yudit setelah wanita itu terlihat lebih tenang. "Ada masalah?"
"Gue harus pergi ke rumah sakit," katanya.
"Biar gue antar."
Anggi menggeleng. Dia segera pergi dari hadapan Yudit untuk mencari angkutan umum yang lalu-lalang di jalanan besar tersebut. Yudit heran mengapa wanita itu tidak ingin diantar olehnya, malah memilih naik angkutan umum. Seperti ada yang disembunyikan oleh wanita itu.
Setelah memastikan wanita itu sudah naik ke dalam angkot. Yudit memakai helm dan menyalakan motornya. Dia mengikuti angkot yang ditumpangi oleh Anggi. Butuh waktu dua puluh menit menuju rumah sakit.
Yudit memarkirkan motornya di parkiran rumah sakit. Sedangkan Anggi baru tiba dan turun dari dalam angkot. Yudit sengaja mendahuluinya supaya bisa mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah sakit. Yudit berhenti mengikuti Anggi ketika wanita itu masuk ke dalam ruangan. Dia berdiri di depan pintu tersebut, menunggu sampai Anggi keluar dari dalam.
"Nggi," panggil Yudit ketika wanita itu keluar. Tapi, kali ini berbeda, Anggi terlihat sedih, air matanya sudah terbendung dan akan segera terurai.
"Dit, gue tinggal ke kamar mandi dulu, ya? Nanti kita ngobrol lagi," katanya. "Tapi, kalau Lo mau masuk, masuk aja. Kalau ada apa-apa sama ibu gue, hubungi gue, ya?"
Yudit mengangguk.
Anggi dengan terburu-buru langsung pergi begitu saja. Entah dia beneran ke kamar mandi atau ke tempat sepi lainnya. Yudit sebenarnya ingin mengejar, hanya saja dia tahan untuk memberikan privasi kepada Anggi. Setelah itu, Yudit memutuskan untuk masuk ke dalam ruang rawat inap.
"Anggi, itu kamu, nak?" ucap ibunya Anggi yang sedang terbaring lemah di bangsal.
"Bukan, ini temannya Anggi, Bu. Saya, Yudit," kata Yudit sambil duduk dibangku yang ada di samping bangsal.
"Ternyata Anggi punya teman juga," kata ibu sambil tersenyum. "Kamu lihat ke mana Anggi pergi?"
"Tadi sih, katanya, dia mau ke kamar mandi."
"Dan kamu percaya itu?"
Yudit terdiam. Tentu saja tidak percaya. Yudit tahu ke mana wanita itu pergi dikala suasana hatinya sedang bersedih.
"Sepertinya kamu anak yang baik, nak Yudit. Ibu sangat senang jika ibu sudah tidak ada, kamu bisa menemani Anggi," katanya.
Yudit tidak tahu harus merespon seperti apa. Masalahnya adalah ini kali pertama dia bertemu dengan ibunya Anggi, begitu juga dengan sebaliknya. Jadi, bagaimana ibunya bisa menilai dirinya sebagai anak yang baik atau tidak.
"Anggi itu anak yang malang. Memiliki orang tua yang sudah tidak lengkap, ditambah ibunya yang sakit parah ini."
Yudit terdiam.
"Boleh ibu bercerita? Ibu percaya kamu bisa memegang rahasia ini dan menjaganya dengan baik," kata ibunya Anggi lagi.
Yudit mengangguk. Dia siap mendengarkan cerita dari ibunya Anggi walaupun dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana nanti ketika beliau sudah selesai bercerita.
"Kamu teman sekolahnya Anggi, bukan?"
Yudit mengangguk. "Iya."
"Kamu tahu kalau Anggi pernah dilecehkan oleh teman sekelasnya sewaktu kelas tiga?"
Yudit yang mendengarnya tentu saja sangat terkejut. Bila kejadiannya saat kelas tiga, artinya mereka sudah saling mengenal dan telah menjadi teman.
Yudit menggeleng. "Saya sama sekali tidak tau. Anggi tidak pernah bercerita."
"Anak itu memang begitu. Selalu saja begitu. Apa-apa pasti dipendam sendiri olehnya, walaupun banyak orang disekelilingnya yang sayang dan siap memberikan bahu untuknya bersandar," kata ibunya. "Ya, mungkin saat kejadian itu terjadi, Anggi ingin memberitahu kedua orang tuanya, ke ibu dan ayahnya, tapi saat itu kondisi kami sedang tidak baik-baik saja. Kami sedang bertengkar hebat saat itu dan memutuskan bercerai. Anggi akhirnya memendamnya dan menghadapi hari-harinya seperti tidak terjadi apa-apa. Bangkit seorang diri. Ibu baru tahu kejadian itu ketika Anggi sudah lulus. Ibu datang ke sekolah untuk mewakilkannya mengambil ijazah karena ketika pengumuman lulus, dia langsung ikut dan tinggal bersama ayahnya jauh di luar kota. Anggi kembali tinggal bersama ibu setelah dia lulus kuliah. Ibu datang ke wisudanya karena diundang olehnya."
Tanpa sadar, Yudit meneteskan air mata ketika ibunya Anggi sedang menceritakan tentang anaknya yang sudah berjuang seorang diri selama ini. Dan teman terdekatnya, termasuk dirinya, Bayu hingga Arkan tidak ada satu pun yang tahu mengenai kejadian itu.
"Kalau boleh tau, kejadian Anggi dilecehkan kelas tiga semester ganjil atau semester genap, ya?"
"Semester genap," jawab ibunya.
Yudit terkejut mendengarnya. Kalau kejadiannya saat kelas tiga semester genap, mereka sudah akrab, bisa dikatakan sudah menjadi sahabat. Tapi, kenapa Anggi tidak bercerita? Apa karena ketiga temannya adalah laki-laki jadi dia tidak berani untuk menceritakan masalahnya tersebut?
"Selain itu, satu tahun yang lalu. Anggi putus dari pacarnya karena diselingkuhi. Mungkin, dari kejadian tersebut, anak itu sekarang tidak berani membuka hatinya kembali karena sudah berkali-kali dipatahkan. Tapi, ibu salut dengannya. Meskipun sudah dipatahkan, Anggi dapat bangkit kembali dan berusaha untuk menyembuhkan lukanya. Mungkin juga lukanya sudah sembuh sekarang, walaupun tidak sembuh seutuhnya."
Yudit yang mendengarnya ikut sedih dan hancur. Yudit mengambil tiga helai tisu yang ada di atas meja kecil dekatnya dan menghapus air mata ibunya Anggi. Sehancur-hancurnya Anggi, pasti ibunya lebih hancur lagi mengetahui penderitaan yang dialami oleh anaknya.
Setalah ibunya Anggi tenang, dan ngobrol santai dengan Yudit. Ibunya Anggi pun tertidur. Karena ibunya Anggi sedang tidur, Yudit keluar dan pergi ke kantin. Dia membeli permen susu yang ada gagangnya. Untung saja di kantin rumah sakit menjual permen seperti itu, permen jaman dulu yang satunya lima ratus perak hanya bagian permennya saja yang dibungkus, kini satunya seribu dan dalam kemasan, kemasannya ada gambar sapi lucu. Yudit membelinya yang memiliki rasa melon, rasa kesukaan Anggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Luka
RomanceDisarankan untuk pembaca 16+ ~~ Maaf telah menggoreskan luka kepada dirimu yang sudah sembuh dari luka yang sebelumnya. -Arkan