2. Hal yang Disembunyikan

9 1 0
                                    

Selesai makan di kantin, Arkan mengajak Anggi ke lapangan indoor di mana tempat latihan sekaligus tempat pertandingan basket diadakan. Di sana ada dua belas orang siswa sedang latihan basket bersama sang pelatih. Arkan dulu juga anak basket, lho.

Arkan sengaja mengajak Anggi ke lapangan indoor, melihat siswa sedang latihan basket, untuk membuatnya ingat akan masa SMA dulu. Di mana dia pernah menonton pertandingannya. Mereka duduk di bangku tribun, di barisan keempat dari atas.

"Gue inget banget, dulu Lo sama Yudit tanding basket lawan SMA Nusantara yang sangat nggak suka sama sekolah kita," ucap Anggi lalu tersenyum.

Arkan ikut tersenyum. "Iya. Untungnya menang, kalau sampai kalah, bisa malu," katanya.

Anggi mengangguk. "Oh iya, Kan. Kabar Bayu sama Yudit gimana? Reuni kemarin kenapa nggak ikut?"

"Mereka kabarnya baik. Bayu baru saja menikah sekitar empat bulan yang lalu terus sekarang tinggal di Bandung. Kalau Yudit, dia lagi liburan ke Bali sama timnya karena mencapai target."

"Bayu udah nikah?" Anggi sedikit tidak percaya. Seorang Bayu yang dulunya terkenal bad boy, suka gonta-ganti, sudah menikah, yang artinya telah mengikat janji setia dengan seorang perempuan.

Arkan mengangguk. "Kaget kan, lo? Gue aja sebagai teman terdekatnya juga hampir nggak percaya. Pas dia bilang mau nikah, gue kira bercanda, eh ternyata benar, dong." Arkan tertawa mengingat Bayu yang mengatakan akan menikah pada waktu itu. Terlebih lagi, yang Arkan tahu, Bayu saat itu sedang tidak mendekati wanita satu pun atau mengenalkan seorang wanita yang sedang dekat dengannya.

"Kok, Bayu nggak undang gue, ya?" kata Anggi.

"Lo lupa? Sejak lulus tuh, Lo susah banget buat dihubungi, Nggi. Sempat ganti nomor juga, kan?" kata Arkan.

Anggi tersenyum sambil mengangguk. "Terus, kalau Yudit gimana, Kan? Dia udah tunangan atau sudah menikah?"

"Yudit masih sendiri, dari jaman sekolah sampai sekarang," jelas Arkan.

Anggi mengangguk lagi. "Gue kira tuh, dulu yang suka gonta-ganti cewek si Yudit, ternyata Bayu. Emang ya, jangan suka judge seseorang dari luarnya," katanya.

"Iya."

Dering telepon milik Arkan berbunyi. Arkan mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan melihat nama si penelepon. Tunangannya yang menelepon. Arkan melihat Anggi yang sedang melihat ke arah para siswa yang masih latihan basket. Arkan menggeser tombol merah. Dia menolak panggilan dari tunangannya tersebut.

"Nggi," panggilnya.

"Iya?"

"Minggu depan, gue, Bayu sama Yudit mau kumpul. Lo mau ikut?"

"Kalian bertiga saja atau bawa masing-masing pasangan?"

"Kita bertiga, tanpa pasangan. Kan Yudit jomblo," jelas Arkan sembari tersenyum.

"Boleh, deh. Nanti kabarin aja, ya?" kata Anggi, dan Arkan pun mengangguk.

Suara notif pesan milik Arkan terdengar. Arkan melihat tunangannya mengirim pesan, namun diabaikan olehnya.

"Nggi, gue kan udah tau nih, kalau Lo kerja sebagai guru, terus Lo juga udah tau kalau gue kerja sebagai karyawan biasa di perusahaan non BUMN, kira-kira gue boleh tanya tentang kenapa Lo masih sendiri sampai saat ini?"

Anggi bergumam cukup panjang. Dia bingung harus menjelaskannya dari mana. "Karena belum ketemu jodohnya aja, Kan."

Arkan mengangguk.

"Kenapa? Lo mau jodohin gue sama rekan kerja Lo yang masih jomblo juga?" kata Anggi bercanda. "Atau Lo mau jadiin gue selingkuhan Lo?"

Arkan terlihat terkejut mendengar ucapan Anggi yang terakhir itu. Arkan pun langsung mengelaknya dengan cepat. "Enggak, Nggi. Gue cuma tanya aja."

"Kirain gitu," katanya lalu tertawa.

Arkan ikut tertawa. Tawa canggung.

"Kan, kayaknya kita pulang aja, yuk? Kita udah kelamaan jalan berdua, terus Lo juga udah di teleponin terus kan sama tunangan Lo. Lo nggak usah anter gue, kan tadi Lo udah jemput gue. Gue bisa mesen ojek sendiri, selain itu gue juga mau mampir ke suatu tempat."

Arkan hanya bisa mengangguk, menuruti perkataan Anggi. "Kalau gitu, gue temenin sampai ojek Lo dateng, ya?"

"Enggak usah. Nggak usah repot-repot. Lo duluan aja. Gue tunggu di sini sendiri. Eh, nggak sendiri juga, sih, ada anak-anak yang sedang latihan."

"Baiklah."

Arkan pergi dari lapangan indoor meninggalkan Anggi yang masih duduk sendiri di sana. Setelah Arkan benar-benar pergi. Air mata Anggi tiba-tiba menetes dan jatuh satu persatu membasahi pipinya. Anggi menangis tanpa bersuara. Dia tidak ingin siapapun mengetahuinya. Sebenarnya, dia ingin menangis di dalam kamar mandiri, namun dia sudah tidak sanggup lagi membendungnya.

Sebenarnya hari ini ibunya sedang dirawat di rumah sakit. Kondisinya sedang kritis. Tetapi, Anggi tidak menemani ibunya. Dia memilih keluar pergi bersama dengan Arkan. Bukan Anggi anak yang durhaka, hanya saja dia tidak sanggup melihat kondisi ibunya tersebut. Terlebih lagi, tidak ada siapapun di sampingnya. Tidak mungkin dirinya memberitahu Arkan tentang ibunya yang sakit dan tentang bagaimana dirinya hari ini yang sedang tidak baik-baik saja. Sedangkan Arkan saja, bukan lagi sahabatnya, sebentar lagi pria itu akan segera menikah.

***

"Kamu akhir-akhir ini kenapa sih, Ar? Susah sekali dihubungi, nggak kayak biasanya. Kamu sadar akan hal itu, kan?" ucap tunangannya yang sangat marah terhadap Arkan.

Saat ini Arkan sedang berada di kamar tunangannya. Tentu saja dengan pintu yang terbuka. Seharusnya, hari ini dia dan tunangannya berada di butik untuk memilih baju nikah yang akan dipakainya nanti saat di pernikahan. Setelah itu, mereka berencana ke tempat perhiasan untuk memilih cincin kawin mereka. Namun, rencana itu gagal gara-gara Arkan yang lupa atau sengaja lupa.

"Aku tau aku salah sama kamu, Dewi. Aku minta maaf. Besok, aku janji akan jemput kamu di jam yang sama, ya?"

"Besok sudah hari Senin, aku masuk kerja. Kamu juga sudah masuk kerja. Sedangkan pernikahan kita dua bulan lagi," kata tunangannya yang bernama Dewi itu.

Arkan duduk di samping Dewi yang posisinya sedang duduk di pinggir tempat tidurnya. "Arkan, kamu tau kalau kamu berubah sejak acara reuni kamu? Apa kamu ketemu sama mantan kamu? Atau ketemu sama cinta pertama kamu itu?"

Arkan terdiam.

Dewi menghela napas panjang. "Kita bukan anak remaja lagi, Ar. Aku nggak mau putus hubungan di usia kita yang udah nggak muda lagi, yang udah banyak capeknya sama segala hal selain tentang percintaan. Aku percaya sama kamu, sama cinta kamu, sama janji kamu yang mau berkomitmen sama aku. Aku akan bilang ke orang tua aku, orang tua kamu, kalau kita tunda dulu pernikahan kita sampai kamu benar-benar kembali fokus sama aku, sama hubungan kita," jelasnya.

Sejujurnya, hati Arkan masih untuk Dewi. Cintanya pun masih sama, belum berubah. Hanya saja, dia ingin tahu tentang salah satu sahabatnya sewaktu SMA, Anggi, yang pernah hilang kontak dengannya selama tujuh tahun. Bahkan, Bayu dan Yudit pun tidak tahu tentang perempuan itu. Ada sesuatu yang masih disembunyikan oleh Anggi. Arkan hanya merasa Anggi sedang membutuhkan seseorang di hidupnya saat ini. Dan Arkan hanya ingin membantunya saja, tidak lebih dari itu. Apakah salah?

"Arkan," panggil Dewi.

"Iya?"

"Tapi, aku nggak bisa nunggu lama-lama. Aku kasih waktu kamu sebulan untuk menyelesaikan semuanya, ya? Kalau sudah selesai, kasih tau aku. Sebelum undangan kita selesai dicetak. Kamu ngerti, kan?"

"Iya, sayang. Aku paham. Makasih banyak ya, karena kamu sudah memahami aku dan bersikap dewasa, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Aku akan menyelesaikan semuanya dan lanjut fokus dengan hubungan kita. Aku minta maaf karena belum bisa menepati janji aku ke kamu," kata Arkan. Lalu dia mengecup kening tunangannya. "Aku sayang sama kamu."

"Aku juga."

Arkan memeluk Dewi sebelum akhirnya dia pamit ke Dewi dan orang tuanya untuk pulang ke rumahnya karena sudah sore menjelang malam.

Teruntuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang