6. Dewi

9 0 0
                                    

Yudit melihat ada notifikasi pesan masuk melalui komputernya. Dia mendapat pesan dari teman kerjanya, yang merupakan tunangan dari sahabatnya, Dewi. Yudit membuka pesannya dan berada di ruang pesan bersama Dewi. Perempuan itu mengajaknya untuk makan siang bersama nanti ketika jam istirahat di kantin.

Yudit menghela napas panjang. Sudah lama dia dengan Dewi tidak mengobrol sejak perempuan itu dipindahkan ke divisi lain. Sekalinya mengobrol, perihal pekerjaan. Dewi juga bukan tipe orang yang bisa berbasa-basi, dan bukan tipe yang mengajak orang duluan untuk makan bersama atau nongkrong di tempat-tempat yang biasa dijadikan tongkrongan.

Artinya, jika Dewi sudah mengirim pesan dan mengajaknya makan bersama, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh perempuan itu. Pasti dia ingin membicarakan tentang Arkan, pasti.

Dan praduga Yudit benar, ketika mereka sudah bertemu di kantin kantor, dan duduk di sudut kantin. Di meja, sudah ada dua makanan dan minuman, yang satu milik Dewi, satu lagi milik Yudit. Ya, mereka hanya makan berdua. Maka dari itu, banyak sepasang mata diam-diam memerhatikan mereka sambil bergosip, itupun berlaku hanya untuk orang-orang yang tidak satu pekerjaan dengan mereka berdua, dalam arti tidak mengenal mereka secara inti.

"Lo tau sesuatu tentang Arkan?" tanya Dewi sembari menyuap makanan ke dalam mulutnya.

"Sesuatu kayak gimana?"

"Arkan ada cerita nggak sama Lo tentang reuni dia terus ketemu sama cinta pertamanya?" jelas Dewi.

Yudit meminum airnya sebelum berbicara. Sedikit serat di tenggorakan setelah menelan makanannya dan mendengar pertanyaan dari Dewi. Dia merasa tidak enak dengan perempuan yang berada di hadapannya sekarang.

"Karena Lo diam, pasti Lo tau." kata Dewi.

Yudit melihat raut sedih di wajah Dewi.

"Udah hampir dua minggu gue sama Arkan nggak saling kirim pesan atau bertukar kabar. Kayaknya, Arkan nggak bisa mengakhiri perasaan dia ke cinta pertamanya," kata Dewi lagi sambil mengaduk-aduk makanannya. "Gue mau nyerahin Arkan ke cinta pertamanya, tapi gue nggak bisa. Karena Arkan cinta pertama gue juga. Gue nggak bisa lepasin dia gitu aja, Dit!"

Yudit berharap Dewi tidak menangis di kantin. Masalahnya kantin adalah tempat umum dan banyak orang yang memperhatikan. Ya, meskipun posisi duduk Dewi memunggungi orang-orang yang berlalu-lalang di kantin.

"Gue nggak tau harus berkata apa, Wi. Karena ini masalah kalian berdua, gue nggak bisa ikut campur begitu aja. Satu sisi, Lo teman gue, satu sisi lagi Arkan sahabat gue."

Dewi tiba-tiba saja menangis tanpa mengeluarkan suara. Pasti sakit sekali rasanya jika menangis sambil menahan diri untuk tidak bersuara karena tahu keadaan yang tidak pas untuk menangis saat ini. Takut menjadi bahan omongan. Tapi, Dewi sudah tidak dapat menahannya lagi jika harus pergi dulu ke toilet untuk menangis, maka dari itu dia menangis di saat itu juga.

Yudit pindah posisi duduk. Yang tadinya duduk berhadapan dengan Dewi, kini duduk di sampingnya. Menemani perempuan itu yang menangis tanpa suara, tetapi bahunya bergetar sangat hebat. Yudit tidak memberikan pelukan, hanya duduk di samping perempuan itu. Yudit tahu batasan. Dewi hanya sekedar teman sekaligus tunangan dari sahabatnya, dan Yudit tidak memiliki perasaan lebih ke Dewi. Selain itu, Yudit tidak ingin semua orang bergosip tentang dirinya dan Dewi.

Lama menunggu, akhirnya Dewi menyudahi tangisnya. Yudit memberi tisu ke Dewi setelah itu memberinya minum supaya perempuan itu bisa sedikit lebih tenang, tidak terlalu sesenggukan. Dewi meminum airnya. Kini dia sudah merasa lebih tenang.

"Makasih, Dit." ucap Dewi.

Yudit mengangguk. "Sama-sama."

***

Sore ini Bayu pulang ke Bandung. Pekerjaannya di Jakarta bertemu klien sudah selesai. Hasilnya pun memuaskan, klien tersebut mau bekerja sama dengan perusahaan tempat Bayu bekerja sekarang. Arkan dan Yudit mengantar sahabatnya itu ke halte bus. Ya, Bayu pulang dengan menaiki bus. Sebenarnya, kedua sahabatnya sudah menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, namun laki-laki itu menolak dan memilih naik bus. Arkan dan Yudit pun tidak mempermasalahkannya.

"Hati-hati, Bay." ucap Arkan saat Bayu akan memasuki bus.

"Kalau udah sampe rumah, kabarin kita, ya, Bay?!" kata Yudit.

"Iya, bawel!" Bayu pun masuk ke dalam bis dan duduk dibangku dekat dengan jendela. Bayu melambaikan tangannya ke arah Arkan dan Yudit.

"Najis banget nggak sih, kita?" kata Arkan sambil membalas lambaian tangan Bayu diikuti oleh Yudit.

"Ha ha ... Biarin aja, sih. Jarang-jarang juga kan, ketemu sama Bayu," jawab Yudit.

Kedua nya mengakhiri lambaian tangan meskipun Bayu masih melambaikan tangannya. Busnya pun perlahan melaju meninggalkan halte.

"Ar, ada yang mau gue bicarakan sama Lo," kata Yudit serius setelah bus yang ditumpangi Bayu benar-benar pergi dari pandangan.

"Tentang apa?"

"Dewi. Lo udah dua minggu nggak kasih kabar ke Dewi?"

Arkan terdiam. Dia pun berjalan melewati Yudit. Mengacuhkan pertanyaannya. Yudit menyusul Arkan dan menyamai langkah kakinya dengan Arkan.

"Lo berdua sebentar lagi mau nikah, Ar! Jangan bilang, Lo mau batalin pernikahan Lo karena Anggi?"

Arkan menghentikan langkahnya tepat di depan mobil miliknya yang terparkir. "Lo pikir, gue gila ngelepasin Dewi karena Anggi?"

"Kalau Lo serius sama Dewi, fokus ke dia. Lo tinggalin Anggi. Lo mau mempermainkan keduanya, Ar? Kalau iya, Lo benar-benar gila, Ar! Gue malu punya sahabat bajingan kayak Lo!"

"Apaan sih, Dit. Sumpah, drama banget!" kata Arkan.

"Gue lagi enggak drama, Ar! Lo nggak tau aja, tadi di kantor Dewi tuh nangis! Nangisin cowok kayak Lo!"

"Gue bisa urus urusan gue, Lo nggak perlu ikut campur, Dit!" Setelah itu Arkan masuk ke dalam mobil miliknya dan pergi meninggalkan Yudit yang masih penuh emosi.

Yudit mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Satu sisi hatinya merasa sakit untuk Anggi setelah mengetahui fakta Arkan masih menyukai Anggi dan berniat menyakiti salah satu hati dari kedua perempuan tersebut. Yudit benar-benar tidak menyangka Arkan akan bersikap seperi itu.

Teruntuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang