is there GOING BACK for us?

50.4K 3.9K 252
                                    

…Come up to meet you. Tell I'm sorry...

You don't know how lovely you are...

I had to find you, tell you I need You... Tell I set You apart...

Tell you my secret and ask me your question...

Let's go back to the start...

Gara menatap layar monitornya nyalang. Bibirnya tersenyum miris, memandang sosok gadis yang kini berubah menjadi wanita yang teramat cantik dengan gaun putih indahnya.

7 tahun .... Benar, itu bukan waktu yang mudah untuk Gara lalui. Ia kabur dari peredaran keluarganya karena tidak mau berakhir di Singapore yang entah akan ditangani oleh siapa nantinya dan ia tak pernah percaya pada dokter mana pun kecuali sepupunya.

Gara hanya yakin bahwa Keylo tidak akan pernah menyerah untuk membantunya sembuh, karena bagaimanapun perlakuan keluarga jauh lebih hangat dari siapapun.

Satu tahun pertama adalah waktu isolasinya bersama Keylo, karena pada tahun itu ia benar-benar sudah diluar kendali. Jika saja ia tak mempunyai keinginan yang kuat untuk sembuh, mungkin sudah sejak lama ia berbaur dengan pasien berkalung gangguan mental di lehernya.

Step berikutnya Keylo berani mengambil resiko untuk membiarkannya berinteraksi dengan pasien lainnya tanpa harus dikurung pada ruang yang di dominasi warna putih, tak lagi tidur dengan borgol-borgol di tangan maupun kakinya.

Pada step ketiga, Keylo benar-benar memutuskan bahwa dirinya sudah benar-benar sembuh dari PTSD'nya. Ia tak lagi mengamuk seperti tahun-tahun pertama, sudah tak bergantung pada Sertraline maupun Morfin untuk menenangkan diri dan yang pasti dia sudah mencapai kemajuan yang pesat. Keylo melepaskannya, membuatkan identitas baru sesuai keinginannya dengan memakai marga keluarganya, Estanbelt.

Berbekal bakat memotretnya sedari SMA, Gara lekas pergi melanjutkan studinya ke Inggris, ia merintis usaha kecil seiring berjalannya pendidikan yang ia ambil dengan meminjam modal pada Pamannya, hingga usaha kecil itu telah berkembang menjadi agensi fotografer ternama di sana.

Gara sudah bertekad, ia tak akan pernah menampakkan diri di hadapan gadis beraroma teh berry-nya sebelum ia sukses.

Namun lihatlah, setelah ia mencapai kesuksesan itu, bukan dirinya yang memberikan kejutan, tapi ia yang dikejutkan dengan prewed yang ia tangani saat ini.

"Apa aku terlalu lama? Atau karena aku terlalu mudah untuk dilupakan?"

Rasa sesak itu kembali menyeruak masuk, memukul bagian dirinya yang terlihat keras namun nyatanya begitu rapuh.

Membayangkan bibir Claire yang setiap hari bertengger di kening Aleta membuat dirinya menjadi pesakitan saat ini, bukan karena kekurangan sertraline atau morfin, tapi karena kadar cinta yang terlalu berlebihan hingga tak bisa ia tampung.

Tangannya meremas kotak beludru berisi dua cincin indah yang semula ingin ia persembahkan pada wanita pujaannya, namun saat ini mungkin hanya angan-angan saja.

"Jika hidup ini seperti drama, maka setiap drama akan selalu berakhir bahagia kan? Lalu, bagaimana dengan kisah hidupku? Apakah akan berakhir bahagia seperti drama picisan yang sering Irene tonton setiap malam?!"

Sebuah ketukan pada pintu kaca buram membuat Gara terseret pada realita saat ini.

"Masuk." perintahnya.

Wanita berambut pirang melangkah masuk setelah mendapat izin dari bosnya. "Maaf mengganggu Anda, Sir. Saya hanya ingin melaporkan bahwa Mr. Claire memilih London Eye untuk lokasi selanjutnya dengan waktu yang sudah disesuaikan dengan jadwal anda."

"Baiklah." jawab Gara tak begitu peduli dengan apa yang dibicarakan sekretarisnya tersebut.

Kate menaikkan satu alisnya. Suasana tenang seperti ini sangatlah aneh. Tidak ada protes, tidak ada suara mengomel, tidak ada makian yang biasa terlontar dari mulut bos-nya tersebut.

"Apa anda sedang sakit?" tanya Kate pada akhirnya, ia merasa khawatir pada bosnya yang terlihat tak seperti biasanya itu.

Gara menopang dagu, iris kelamnya melirik Kate tak bersemangat. "Ya."

Jadi dia benar-benar sakit? Pantas saja!

"Apakah anda perlu ke dokter?"

Kepala pria itu menggeleng disertai embusan napas lelah, "Dokter manapun tidak akan ada yang bisa menyembuhkan sakit ku, Kate."

Kate meneguk ludah. Apa separah itu? Dia mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan? HIV? Tidak, jelas itu tidak mungkin karena Mr Estan tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun. Lalu, apa itu kanker? Tumor ganas?

Walaupun Mr. Estan memiliki mulut yang tajam, tapi dia pria yang baik. Dia selalu memerhatikan dan memperlakukan semua pegawainya dengan sangat baik. Oleh karena itu para pegawainya memiliki loyalitas yang tinggi pada perusahaan dan tuannya. Begitupula dengan Kate, baginya Mr. Estan adalah penyelamat ekonomi keluarganya. Apapun akan ia lakukan untuk mengabdikan diri sebagai bentuk terima kasih dan balas budi.

"Lalu? Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu anda, Sir?"  Suara Kater terdengar khawatir dan bersungguh-sungguh saat menanyakan hal itu.

Iris kelam Gara terlihat bersemangat, sudut bibirnya kemudian terangkat membentuk seringai. "Culik mempelai wanita Mr. Claire untukku. Kau bisa melakukannya? Karena hanya dia obatku."

Kate melebarkan matanya tak percaya, "Apa? Anda minta apa?"

Selama yang ia tahu, ucapan pria itu adalah perintah ... yang artinya harus dikerjakan bagaimanapun caranya. Jika tidak, sebagai imbasnya kau harus mengirimkan surat pengunduran diri. Namun apa ini benar-benar sebuah perintah? Menculik calon mempelai wanita dari kliennya sendiri?

Kate tahu, sangat tahu kalau atasannya tersebut terkadang memiliki ide-ide gila. Tapi dia tidak habis pikir akan memiliki ide segila itu. Menculik calon mempelai Mr. Claire tentu sangat beresiko pada banyak hal. Merusak kepercayaan klien, merusak nama perusahaan dan tentu akan berurusan dengan aparat penegak hukum.

Kate masih berdiri kaku di tempatnya, ia memandang bosnya yang tengah memejamkan mata sambil mengantuk-antukkan kepalanya pada kepala kursi.

"Apakah saya benar-benar harus melakukannya?" tanya Kate, ia sedangkan memastikan kembali apakah ia hanya salah dengar atau memang itu benar-benar nyata.

"Pergilah ..." ucap Gara masih dengan mata terpejam.

"Tapi—"

Manik kelam pria itu kembali menyorot, "Kau berpikir aku akan melakukannya? Aku tidak bodoh Kate, menculik adalah tindakan menggelikan. Jika dia harus bersamaku, maka akan kubuat dia datang padaku dengan sendirinya, bukan karena terpaksa."

Kate menegang saat melihat bosnya tersenyum, bukan senyum bahagia yang menyenangkan. Ini lebih seperti sebuah senyum penuh luka.

Inikah alasan kenapa seorang Mr. Estan tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan siapapun? Padahal jelas sekali ada banyak wanita yang mengantri untuk menjadi kekasihnya, bukan hanya dari kalangan artis saja, bahkan anak para bangsawan pun menaruh minat padanya.

Kate tidak mengerti, memangnya apa yang dimiliki oleh Mrs. Claire sampai bisa membuat dinding kokoh yang di bangun pria itu runtuh, bahkan luluh lantak?

"Pulanglah, jam kerjamu sudah selesai dari satu jam lalu dan aku tidak berniat membuatmu lembur."

Kate mengangguk mengerti, "Anda juga harus pulang dan istirahat karena besok ada jadwal memotret untuk B Magazine. Selamat malam."

7 Days AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang