Nice to see you

83.9K 4.9K 516
                                    

Langkah-langkah kaki terdengar begitu terburu-buru. Bukan hanya satu atau dua orang, melainkan hampir semua orang yang ia temui di sepanjang jalan memiliki langkah lebar, berbeda dengan penduduk negaranya yang terbilang cukup santai pada jam kantor mereka.

"Bisa pelan sedikit?" nafasnya mulai berat namun langkah kaki pria di depannya sama sekali tidak berubah menjadi pelan, "kakiku sakit bila harus mengejar langkah kakimu, Vian!" si wanita kemudian berteriak.

"Ayolah Leta, kita sudah telat 10 menit dan itu gara-gara kau yang terlalu lama mengambil tas tangan bodoh mu itu!" omel si pria membuat kedua alis wanitanya terangkat sempurna.

'Tas tangan bodoh dia bilang?'

Aleta, wanita itu membeku seketika, ia menatap pria yang menyandang status sebagai calon suaminya tersebut tidak percaya. Ia tahu bahwa mereka berdua sudah terlambat, tapi sikap kasar Vian sangat tidak bisa diterima.

"Dengar Vian, aku telat bukan karena perihal memilih tas tangan bodoh ini, akan tetapi ... aku sedang memantapkan hatiku bahwa kau adalah orang yang benar-benar tepat untuk menjadi pendampingku." ia berbicara dalam satu kali tarikan napas, "jadi, setelah aku memantapkan pilihanku yang kau bilang bodoh itu, tolong jangan kecewakan aku!"

Aleta menunduk, tangannya saling meremas gelisah. Sejak berbulan-bulan lalu dia sudah merasa gamang, tepatnya saat Vian datang bersama sebuket bungan dan cincin indah dalam kotak kecil yang dibawanya.

Berpacaran lebih dari dua tahun membuat Aleta paham akan watak pria itu. Vian pria yang baik, namun ada beberapa sikap yang memang sangat tidak bisa Aleta terima contohnya pemaksa dan keras kepala.

"Maafkan aku, aku terlalu takut kalau agensi prewedding kita pergi begitu saja karena keterlambatan kita, Leta."

Ale merasakan kehangatan yang membungkus tubuhnya saat dipeluk Vian, akan tetapi kehangatan ini sejak bertahun-tahun lalu tidak pernah membawa kenyamanan.

Aleta menghela napas, "Aku juga minta maaf karena sudah berteriak padamu." ucapnya disusul sebuah senyum tipis.

"Ayo pergi." ucap Vian, kali ini dia menggandeng tangan Aleta, berjalan bersisian layaknya pasangan normal lainnya.

Tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di menara Big Ben, memang tak begitu jauh dari tempat mereka menginap, hanya memakan waktu sekitar 15 menit ditambah lagi dengan 10 menit sebelumnya, jadi total keterlambatan mereka adalah 25 menit, lebih 8 detik.

"Thanks god!" hanya mantra itulah yang dirapalkan oleh Vian.

Masih ada, agensi prewed mereka masih ada di sana. Vian segera berlari pada sang fotografer yang sedang menikmati kopi pagi dengan selembar sandwich-nya menghadap barat kota, tepat membelakangi Aleta yang kini tengah ditarik penata rias.

Tidak butuhkan waktu yang lama, ia hanya menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit untuk berganti pakaian dan merias wajah.

Saat Aleta ke luar dari mobil Van, si fotografer terlihat sibuk dengan peralatannya, kadang dia mengomel pada para stafnya yang bekerja lamban saat mengatur alat-alat yang entah Ale tidak tahu namanya.

Rambut hitam legam itu sangat berbeda dengan kebanyakan rambut penduduk Inggris yang di dominasi pirang platina maupun cokelat gold.

7 Days AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang