2

21 5 1
                                    

Soraya menerima sepiring batagor dengan ramah dari salah satu kios di kantin, kemudian pergi berlalu menuju meja dimana Raya sudah ada di sana bersama roti lapisnya, sibuk dengan ponselnya sendiri. Beberapa pelajar di lain tempat menatap tapi diabaikan.

Keseharian menjadi gadis cantik di sekolah memang seperti itu, jadi Raya sudah terbiasa. Begitu juga dengan Soraya, dia terkenal tinggi jadi kadang dia dengar beberapa mencibir begitu keheranan bagaimana dia bisa setinggi itu. Keduanya saling menikmati makanannya masing-masing sampai seseorang datang menghampiri mereka. Berdiri di samping keduanya.

"Hai. Ra" sapanya. Itu Dafa, laki-laki itu datang bersama segelas jus merah yang sepertinya adalah rasa stroberi. Di sebrang, Soraya diam saja, bersikap tidak ada di antara keduanya. "Gue Dafa, lo udah terima bunga dari gue?"

Raya sebentar melirik pada Soraya lalu mengangguk dengan senyuman manisnya. "Iya, kenapa?" Setelahnya dia agak terkejut ketika minuman itu lalu disodorkan padanya. Dan Soraya mencoba sekuat tenaga menahan senyumannya. "Eh, apa nih?"

"Jus stroberi, buat lo." kata Dafa begitu antusiasnya. "Gue denger dari temen-temen, lo sering minum jus stroberi. Jadi, ini buat lo. Gue traktir."

"Oh ya? Terima kasih." balas Raya lembut. Menerima minuman itu dengan senang hati. Bahkan dia teguk sedikit. "Enak banget."

Dafa mengusap telungkupnya, menahan malu juga gejolak di dadanya yang bergemuruh keras. "Lo bakalan dateng, kan, ke taman nanti pulang sekolah."

Raya menganguk. "Iya. Gue bakalan dateng, kok."

"Ok. Gue tunggu nanti, ya." katanya. Setelahnya dia berdiri kebingungan, ingin sekali ikut berbincang di meja itu tapi gengsi mengalahkannya. Akhirnya memutuskan untuk undur diri.

Raya melambaikan tangan pada kepergian Dafa sampai laki-laki itu benar-benar tidak terlihat lagi batang hidungnya. Lalu setelah itu dia menghela napas, mendorong jus itu ke depan Soraya. "Buat lo aja, deh, Ra."

"Loh, kenapa lagi?" katanya heran. Ingat kalimatnya di kelas tadi soal bunga yang dia buang. "Katanya kalau dia kasih makanan lo mau makan."

"Ya, males aja." katanya. "Lagian gue nggak suka sama dia. Kalau dia kek gitu caranya jadi kaya stalker gue. Udah Ilfil duluan."

"Trus nanti di taman lo bakalan tolak dia?" tebaknya.

"Iya, lah. Lagian Dafa itu bukan tipe gue."

Ujung-ujungnya Soraya hanya bisa bungkam saja. Balik lagi, itu keputusan Raya. Dia tidak bisa ikut campur. Dan jus itu akhirnya Soraya teguk, wajahnya berubah segar saat merasakan manis juga dingin di tenggorokannya. Walau agak tidak nyambung dengan batagor miliknya tapi itu tetap enak. Dia baru tahu jus stroberi bisa semanis ini, sayang sekali jika minuman ini akan di buang seperti bunga mawar sebelumnya.

Ketika dia tengah asik menyedot jus itu, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya. Sebuah tangan merangkul pundaknya tanpa permisi. Begitu dia menoleh, tubuhnya seketika membeku saat melihat siapa yang ada di sampingnya. Cowok yang menjadi alasan dia memendam rasa selama lima tahun ini.

Zaki Hengkara.

"Dua Raya ada di sini." serunya. Datang dengan Bian dari arah belakang, rangkulannya erat sekali tampak seperti tengah memitingnya. Karena hal itu wajah mereka jadi sangat dekat. Meneliti Soraya dengan wajah tampannya itu. "Tumben minum jus."

Keempatnya adalah sahabat. Sudah sejak sekolah menengah mereka bersama. Walau kelas mereka beberapa kali berbeda tapi kedekatan mereka tidak pernah berubah. Begitu juga perasaan Soraya, malah rasanya semakin besar. Jantung Soraya perlahan berdetak kencang dan itu yang menyadarkannya. Dia tersedak. Buru-buru melepaskan rangkulan itu, bersikap risih. Padahal yang terjadi sebenarnya, dia berusaha menyembunyikan wajah meronanya. "Bukan. Punya Raya." balasnya.

"Punya lo, Ra?" tanya Zaki.

Bian tanpa bicara duduk di sebelah Raya. Bertingkah seperti biasanya, seperti laki-laki bisu.

Raya menghela napas. "Iya, dari Dafa Waradana." balasnya.

Zaki langsung antusias. "Ah, Dafa anak 2 IPA 1?" katanya. Kembali pada Soraya. "Gue dapet gosip katanya dia nembak lo, Ra. Ada fotonya si Dafa ngasih lo bunga. Beneran?"

Belum sempat Soraya menjawab, Raya langsung mengambil alih menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Nggak, itu dia di suruh sama si Dafa buat kasih ke gue." jelasnya. Raya menumpu dagunya, mengeluh tidak semangat. "Jadi, lo, enak banget, ya, Ra. Nggak banyak di tembak cowok jadi nggak ribet. Kenapa si mereka tembak gue? Kan, banyak cewek cantik di sekolah. Lagian gue nggak secantik itu."

Soraya hanya tertawa kecil, tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Memangnya siapa di sekolah ini menyukai gadis tinggi bak raksasa seperti dirinya. Hal itu yang membuat dia jadi tidak percaya diri. Zaki mengangguk setuju karena hal itu. Menepuk-nepuk punggung Soraya yang jelas lebih ke arah memukulnya. "Bener dugaan gue, cewek galak kek raksasa gini siapa yang suka, ya?" ledeknya. "Lagian Soraya itu bukan cewek tapi cowok. Yang ada harusnya dia yang nembak."

Soraya jelas tersinggung, dia kontan membalas pukulan yang sejak tadi dia terima dengan tinjuan keras di lengan Zaki. "Sialan, lo! Lo pikir gue lesbi!"

"Ahhk, sakit!" keluhnya mengusap lengannya. "Bercanda, Ra."

Soraya membungkam mulutnya sendiri dengan batagornya, mengabaikan ledekan Zaki selanjutnya. Menghindari wajah kecewanya tapi malah tidak sengaja bertatapan dengan Bian dengan wajah datarnya. Keduanya jadi cangung sampai Soraya memutuskan tatapan itu lebih dulu memilih menunduk. Agak sedih karena kalimat Zaki barusan, jelas tanpa diberitahu sekalipun dia mengerti. Zaki tidak melihat dia sebagai orang gadis. Mungkin di matanya, dia hanya gadis tomboy tinggi yang tidak akan mungkin bisa menyukai seseorang atau bahkan disukai oleh seseorang.

Tapi walaupun begitu, diam-diam Soraya menatap cowok di sampingnya dengan tatapan penuh harap. Baginya melihat cowok itu tertawa sudah cukup membuatnya senang. Mengatakan perasaannya adalah hal paling menakutkan baginya selama ini. Dia takut, jika saja perasannya terungkap.

Apa mereka masih bisa sedekat dan sesantai seperti sekarang ini?


To be continued...

°∘❉∘°

Apabila ada nama tokoh maupun peristiwa dan tempat serta kejadian yang sama dengan cerita ini, semua hanya kebetulan. Cerita ini fiktif, hanya rekaan atau imajinasi penulis semata.

By : Renata Herzerave

Too Tall To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang