Sepulangnya Raka dari sekolah, ia memasuki rumah yang berbentuk modern minimalist dan bisa dibilang lebih dari kata cukup untuk dirinya sendiri di usia muda. Jarang ada pemuda seumurannya yang sudah memiliki rumah sendiri dari hasil usaha yang dibangun sendiri. Ya, Raka memang memilih untuk hidup sendiri dan pisah dari sang Papa serta adiknya.
Tidak kuat kalau setiap harinya harus tinggal bersama Papanya. Jika mereka satu rumah yang pasti akan selalu berdebat. Banyak peraturan yang harus dia lakukan jika tinggal bersama Papanya. Maka dari itu, Raka memilih keputusan untuk membeli rumah dan hanya ditinggalinya seorang diri. Kebetulan rumahnya juga tidak jauh sekolahan. Jadi, terbilang masih bisa terjangkau jaraknya untuk pergi ke sekolah.
Rumah Raka sering dijadikan sebagai tempat berkumpul bersama dengan teman-temannya. Bahkan, sering ada yang kabur dari rumah dan menumpang beristirahat di rumahnya. Orangtua ketiga temannya pun sudah mempercayai anak mereka kepada Raka. Kalau pun, salah satu dari mereka tidak pulang ke rumah, sudah dipastikan mereka menginap di rumahnya Raka.
Raka menaruh tas sekolahnya ke sembarang arah. Melepaskan kancing baju seragamnya lalu menyisakan kaos oblong berwarna hitam yang hanya dikenakannya saat ini. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur lalu mendengus kasar. Memandangi langit-langit kamarnya. Pikirannya saat ini hanya mempertanyakan siapa gadis yang melihatnya di lapangan tadi.
"Siapa gadis itu? Pasti tidak mungkin kalau gua sama dia seumuran. Tapi, mungkin aja dia sengaja buat gua terkecoh. Makanya, dia manggil gua pake sebutan 'kak'. Ah, Tuhan!"
Raka mengacak-acak rambutnya frustasi. Kemudian, merogoh saku celana. Mencari-cari kertas pemberian gadis tadi yang dia lipat menjadi dua. Merasa kertas itu sudah hilang membuat Raka bangkit dari tidurnya dan mencari kertasnya sekali lagi. Raka mengambil tas ranselnya yang tergeletak di bawah dan merogoh tasnya. Ia terus mencari secarik kertasnya sampai semua isi tasnya berserakan di lantai.
"Shit! Beneran saja, hilang. Duh! Dasar Raka! Bisa-bisanya lu ngilangin kertas sepenting itu."
'Penting?' Dia terdiam sejenak.
Kertas dengan isi yang seperti itu dianggap penting olehnya. Sejak kapan? Bisa jadi dia seperti siswi-siswi pada umumnya yang hanya mengagumi dirinya.
Argh.
Frustasinya mengacak-acak rambutnya kembali.
"Kayaknya gua harus mandi biar pikiran gua jernih."
Raka bangkit dari kasur, ia mengambil handuknya yang tersangkut di sangkutan baju. Raka berjalan ke arah kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, Raka selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi, melangkahkan kaki menuju ke kamarnya dengan handuk yang hanya melingkar di pinggangnya, menyisakan dada bidangnya dan juga perutnya yang berbentuk roti bersusun. Seraya tangannya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Langkahnya terhenti saat dirinya mendengar suara seseorang yang sudah dia hafal pemiliknya dan membuat Raka tersontak kaget.
"ABANGGG!!"
"Astaga, Tuhan!" Raka mengelus dadanya yang terasa berdetak kencang.
"Abang habis mandi ya?" tanya Cala polos dengan matanya yang memerhatikan abangnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Raka terdiam kaku melihat ke arah adiknya bersama kedua teman perempuannya yang sedang duduk di atas sofa. Ia menelan air liurnya kasar. Teman adiknya menyapa sambil tersenyum kikuk kepada Raka.
"Hai, kak Raka! Hehe," sapa salah satu temen Cala yang bernama dan tersenyum kikuk.
"Halo, bang Raka!" sambung teman Cala yang satunya lagi menyapa Raka.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANAKA
Teen FictionApa itu "cinta"? Sebuah kata dan ungkapan yang sudah begitu asing bagi lelaki bernama Ranaka Langit Chalavanth. Setelah kepergian mendiang sang ibunda, baginya cinta itu hanya sebuah kemunafikan belaka. Tidak ada cinta yang benar-benar tulus yang ia...