"MAU JADI APA KAMU KALAU SEPERTI INI TERUS, RANAKA?! PAPA SEKOLAHIN KAMU ITU UNTUK JADI ORANG YANG BERGUNA. BUKAN MALAH SEPERTI INI! MAU SAMPAI KAPAN KAMU SEPERTI INI, KA?!" Bentak seorang pria paruh baya dengan nada sangat marah. Pria itu terus saja menanyakan pertanyaan yang sama dan memukul berkali-kali seperti memberikan pelajaran untuk orang yang bernama Ranaka itu.
"Paa, udah, Paaa. Jangan pukulin abangg, Paaa!"
Gadis yang terpaut umurnya baru beranjak remaja itu menangis histeris, memohon untuk Papanya berhenti memukuli abangnya. Ia hanya pasrah. Terkulai lemas di lantai karena pintu kamar dikunci dari dalam oleh sang Papa.
Saat pintu terbuka, tanpa menghiraukan pria yang baru saja keluar dari kamar tersebut, gadis itu langsung bangun dari posisi duduknya kemudian berlari masuk kedalam kamar dan langsung memeluk erat lelaki yang umurnya terpaut tidak jauh darinya. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan sang kakak yang sudah babak belur karena ulah papa nya sendiri. Sang kakak yang sudah kehabisan tenaga mencoba untuk terlihat tegar di hadapan sang adik tercintanya dengan terus menenangkan sang adik.
Membalas pelukan sang adik seraya mengelus-elus lembut rambut panjang adiknya, "Abang gapapa, Cala. Udah ya, jangan nangis. Masa adik abang yang kuat nangis,"
Suaranya yang lirih menahan sakit bekas pukulan. Melepaskan pelukannya kemudian mengelap air mata adiknya yang terus saja jatuh ke pipi tembam adiknya.
"Cala, sayang abang hiks. Cala ngga mau hiks kehilangan abang. Cala ngga mau kehilangan orang yang Cala sayang untuk kedua kalinya hiks." Tangisnya kembali pecah saat menatap luka lebam bekas pukulan. Cala mencoba memberanikan diri memegang luka pada wajah abangnya dengan sangat hati-hati.
"Pasti sakit banget ya, bang? Cala obatin, ya? Abang tunggu sini dulu, oke?"
Gadis itu beranjak pergi ke dapur mengambil obat untuk mengobati luka-luka yang berada di tubuh abangnya.
Kalau bukan karena Cala disini, mungkin dia sudah menyusul ibunda nya yang sudah pergi lebih dulu ke sang pencipta. Sangat berat bagi Ranaka ditinggal oleh seseorang yang sangat dia sayang untuk selamanya. Ranaka sangat beruntung memiliki adik yang sebegitu pengertian kepadanya. Apalagi disaat-saat seperti ini Cala lah yang menjadi orang pertama yang sigap memeluk dirinya. Karena Cala lah yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap hidup. Ranaka sangat berterimakasih kepada Tuhan karena telah memberikan seorang adik seperti Cala.
Lamunan Ranaka membuyar ketika Cala kembali masuk kedalam kamar dengan membawa kotak obat dan sekantong es batu. Cala duduk disamping Ranaka lalu memberikan es batu untuk Ranaka kompreskan ke luka lebamnya, sedangkan dirinya mengobati luka terbuka Ranaka dengan menggunakan kapas yang sudah dibaluri obat merah.
"Abang berantem lagi, ya?" Tanya Cala seraya mengobati lukanya Ranaka.
Ranaka hanya terdiam sesaat. Ia tidak ingin membuat adiknya tambah khawatir. Ranaka mengulas senyum pada bibirnya lalu memperhatikan adiknya yang dengan hati-hati nya mengobati sang kakak. Kemudian, Ranaka menjawab pertanyaan adiknya dengan tenang sembari menahan rasa sakit karena lukanya.
"Enggak, dek. Abang tadi habis jatoh doang."
"Kalau habis jatoh, engga mungkin dong lukanya kayak gini. Abang pasti bohong sama Cala. Kalau bohong nanti tidurnya ditemenin hantu, mau?"
Cala menatap Ranaka dengan tatapan intimidasi nya. Cala sudah paham betul kalau abangnya ini tidak mungkin jatuh dengan luka seperti ini. Ia tahu kalau abangnya itu habis berantem lagi dengan orang lain.
"Loh, jangan dong. Nanti hantunya malah demen sama abang. Kamu mau klo pacar abang hantu?" Guyon Ranaka sambil menahan perih dari luka yang sedang diobati oleh adiknya itu.
"Abang mah. Aku gamau! Aku serius tau, bang."
Cala menatap sebal kearah Ranaka. Gadis itu membalasnya dengan sedikit menekan luka abangnya. Ranaka pun meringis kesakitan. Tetapi ia tidak ingin membalas adiknya tersebut. Karena gimana pun dia sayang sekali kepada adik perempuan nya itu. Cala terus mengobati luka abangnya sampai semuanya sudah terasa diobati, Cala membereskan obat-obatannya kedalam kotak obat. Tidak lupa dia membantu abangnya untuk berdiri.
"Abang mau Cala bantu jalan juga?" Ucap Cala dengan tatapan polosnya kearah Ranaka.
"Abang nih udah gede, dek. Bukan bayi lagi."
"Kata siapa bayi? Klo bayi pun, abang udah bangkotan tau."
Perkataan Cala itu membuat dirinya mendapatkan sentilan pada dahinya dari Ranaka. Cala meringis kesakitan dan mengelus-elus dahinya bekas sentilan Ranaka.
"Aw! Abang ih nyebelin banget. Udah Cala obatin malah nyakitin. Dasar cowok!" Ia beranjak pergi duluan meninggalkan Ranaka dengan perasaan sebal. Ranaka yang tertawa kecil, menggelengkan kepalanya melihat tingkah lucu Cala.
"Dek, tungguin."
"Engga mau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RANAKA
Teen FictionApa itu "cinta"? Sebuah kata dan ungkapan yang sudah begitu asing bagi lelaki bernama Ranaka Langit Chalavanth. Setelah kepergian mendiang sang ibunda, baginya cinta itu hanya sebuah kemunafikan belaka. Tidak ada cinta yang benar-benar tulus yang ia...