RANAKA | SATU

146 96 164
                                    

Segerombolan siswa berlari dengan sangat cepat untuk mencari tempat persembunyian. Baju seragam yang terlihat sudah keluar dari celana dan dasi yang sudah melonggar. Para siswa itu tampak seperti sedang bersembunyi dari sesuatu yang sedang mengejar mereka. Raut wajah mereka terlihat sangat was-was dengan memperhatikan keadaan sekitar.

Kekhawatiran mereka pun membuyar begitu saja ketika ada seorang gadis sepantaran mereka tidak sengaja melihat keberadaan mereka. Gadis itu berdiri tepat tidak jauh dari hadapan mereka serta memandangi mereka dengan tatapan bingung. Tanpa basa-basi, lelaki yang di hadapannya itu pun langsung menarik sang gadis ke dalam pelukan lelaki itu dan ikut bersembunyi. Mulutnya dibungkam agar tidak bersuara. Gadis itu yang tidak tahu apa-apa berusaha memberontak tetapi tenaganya tidak sanggup melawan tenaga si laki-laki yang membungkam mulutnya.

Tak selang beberapa menit, terdengar suara langkah kaki yang mendekat kearah persembunyian mereka. Segerombolan siswa itu pun berusaha mengatur nafas mereka agar tidak terdengar oleh orang-orang yang mengejar mereka. Orang-orang yang mencari mereka berdecak kesal karena sudah kehilangan jejak mereka dan sepakat berpencar untuk melanjutkan pencarian ke tempat lain.

"Sialan. Kemana mereka? Kita jangan sampai kehilangan jejak mereka. Pasti mereka masih sekitaran sini. Ayo cari lagi," ucapnya dengan nada tinggi dan napas tersengal-sengal.

'Suara itu..sepertinya aku tahu siapa,'

Batin sang gadis seraya mendongakkan kepalanya melihat keseluruhan wajah lelaki yang memeluknya sekarang. Wajahnya yang terlihat begitu sempurna, dengan hidung yang mancung bak perosotan, dan rahangnya yang tegas. Baginya wajah lelaki itu tidak asing. Ia seperti pernah melihatnya, tetapi tidak tahu dimana. Gadis itu dapat mendengar dengan jelas detak jantung lelaki itu yang tidak karuan.

"Lu sama gua ke sana, lu dan lu ke situ. Oke?" Seakan mengerti perintah, bisa dibilang ketua gengnya. Mereka langsung berpencar kearah yang sudah ditentukan.

Saat suara langkah orang-orang yang mencari mereka sudah tidak terdengar lagi, barulah segerombolan siswa dan satu gadis yang terpaksa ditarik untuk ikut bersembunyi, berani keluar dari persembunyian mereka. Dengan napas lega pelukan pada gadis itu di lepas. Gadis itu terlihat sangat kesal karena dia tidak tahu apa-apa tetapi malah ikut bersembunyi dengan mereka.

"Kenapa gue harus ikut bersembunyi dengan kalian? Kalian siapa? Dan...dan orang tadi pun siapa?" tanya sang gadis menatap kearah mereka secara gantian dengan tatapan mengintimidasi.

Laki-laki yang memiliki perawakan wajah tegas dengan suara yang serak basah hanya menatap balik kearah sang gadis dan seakan menyuruh gadis itu pergi dari hadapan mereka. "Bukan urusan lu. Lu aman sekarang dan lu boleh pergi."

Tanpa memikirkan hal lain pun, sang gadis pergi saat itu juga dari hadapan para laki-laki itu. Walau di dalam hati nya terasa ingin sekali menghajar habis-habisan laki-laki yang tiba-tiba saja menariknya kemudian memeluknya lalu menyuruhnya untuk ikut bersembunyi dari kejaran entah siapa. Setelah sang gadis pergi, salah satu dari teman segerombolan laki-laki itu menyalahkan orang yang di hadapannya.

"Bajingan. Semua ini karena lu, Raka. Hampir aja, kita semua mati karena lu." umpat salah satu teman nya dengan tangan yang sudah sigap ingin menonjok wajah lelaki dihadapan nya.

Lelaki yang bernama Raka itu hanya diam saja. Bukan karena dia pasrah tetapi karena dia tahu bahwa semua itu salah dia. Menurutnya, pantas saja kalau temannya marah kepadanya dan dia pun siap menerima pukulan kalau temannya ingin memukul wajah Raka.

Di sela-sela mendengar teman nya yang terus saja memarahi dirinya, mata Raka melihat kearah teman nya. Karena sudah kepalang tanggung, temannya ingin langsung melayangkan pukulannya ke wajah Raka tetapi teman yang lainnya langsung melerai mereka berdua untuk tidak meributkan hal sepele saat ini. Karena ada hal lain yang harus dipikirkan oleh mereka semua.

"Udah, udah, yang penting sekarang kita aman. Lu liat nih jam. Sekarang yang harus lu pada pikirin itu, gimana caranya buat cari alasan ke Pak Edi." sahut teman nya yang sembari menunjukkan jam tangannya yang sudah pukul 7.30, menandakan pelajaran pertama sudah dimulai sedari tadi dan mungkin saja sudah pergantian jam pelajaran.

Menurut para siswa, Pak Edi terkenal guru yang killer seantero sekolah dan tidak mentolerir sebuah pelanggaran. Apapun itu pelanggarannya. Mereka bertiga terlihat sangat frustasi mencari alasan akan hal itu. Tidak dengan satu orang yang terlihat dingin dan biasa saja dari tadi, yaitu Raka.

"Cabut. Biar gua yang berhadapan langsung ke pak Edi." kata Raka dengan tegas sembari membenarkan seragam dan dasi nya yang terlihat sangat berantakan karena aksi kejar-kejaran tadi. Kemudian, Raka pergi mendahului teman-temannya yang masih bingung dengan sikapnya Raka itu.

"Emang cari mati tuh anak. Astaga, Tuhan. Gini amat hamba punya temen. Capek engga sih lu bedua, Dim, Son?" Tanya Briyan yang seakan mengeluh kepada kedua teman nya sambil menatapi punggung Raka yang semakin lama semakin jauh tak terlihat. Bersamaan ketiganya menggelengkan kepalanya.

"Sabar, yan." Dimas menepuk pelan bahu Briyan, kemudian menyusul Raka diikuti Nison.

"Cih. Jadi, sekarang gua yang ditinggal sendirian." Geram Briyan sembari memijit pelipisnya sejenak dan segera menyusul ketiga teman nya itu.

Setibanya di sekolah, Raka beserta beberapa teman berjalan dengan hati-hati agar tidak ada guru yang menyadari keberadaan mereka. Terlebih lagi, kepala sekolah nya. Aksi mereka pun berjalan mulus sampai akhirnya mereka berhasil berhenti tepat di depan kelas. Suasana kelas di dalam terdengar ramai seperti tidak ada guru yang mengajar. Maka dari itu, Raka membuka pintu kelas dengan santai.

Ceklek.

Semua pasang mata mengarah ke arah mereka. Begitu pun, pak Edi yang ternyata sedang menjelaskan materi di depan kelas. Dengan raut wajah yang datar dan rahang yang terlihat tegas, pak Edi memberhentikan penjelasan materi kepada semua muridnya dan langsung melontarkan beberapa patah kata kepada mereka.

"Kalian bertempat ikut saya kedepan dahulu. Kalian yang di kelas harap melanjutkan baca kembali."

Pak Edi dan mereka berempat berjalan keluar kelas. Pak Edi menutup rapat pintu kelas agar tidak ada siswa yang mendengarkan percakapan mereka.

"Kalian ini terlambat lagi, terlambat lagi. Sudah jam segini. Lewat 45 menit. Kalian tidak niat sekolah atau gimana?"

Mereka terdiam sesaat, kemudian Raka memberanikan diri menjawab pertanyaan pak Edi.

"Niat, Pak. Buktinya kami masuk sekolah walau terlambatnya terlalu banyak. Tadi kami ada-"

Belum sempat Raka menjawab, Pak Edi sudah lebih dulu memotong perkataan. "Ada apa? Mau apalagi alasan kalian? Saya sudah tau alasan kalian pasti itu lagi itu lagi. Terlebih kamu Raka. Mau saya adukan ke kepala sekolah?"

"Adukan saja. Saya tidak takut dengan beliau." Jawab Raka dengan nada tegas juga.

Pak Edi terdiam. Beliau sepertinya paham ada sesuatu di antara Raka dan kepala sekolah. Walau pak Edi terbilang orang yang sangat tegas dan tidak mentolerir pelanggaran aturan, tetapi di lubuk hati beliau masih tersimpan perasaan yang sangat lembut dan hangat. Pak Edi hanya bisa menghela napas.

"Kali ini kalian saya maafkan lagi. Tetapi, kalau kalian seperti ini terus saya tidak akan memberikan kalian keringanan lagi. Karna sebentar lagi akan pergantian kelas, kalian boleh masuk kedalam kelas. Saya tetap memberikan kalian absen tetapi sebagai gantinya kalian tidak saya berikan nilai pada pertemuan kali ini. Dan untuk Raka, saya ingin mengobrol sebentar."

Ketiga teman Raka kembali masuk ke dalam kelas. Sedangkan, Raka mengobrol untuk membahas sesuatu dengan Pak Edi di luar kelas. Pembahasan yang terlihat sangat serius. Sampai-sampai Pak Edi menepuk pelan bahu Raka seakan menguatkan diri Raka. Saat pembahasannya sudah selesai, Pak Edi dan Raka kembali memasuki kelas. Pembelajaran Pak Edi pun di mulai kembali. Semua murid mengikuti pembelajaran dengan sangat tenang.

RANAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang