(04) Cairan Jahanam

1.5K 261 106
                                    

Jangan lupa vote dan komen ❣️
Happy reading~

***

Jovan berjongkok di depan dua orang yang sudah berhasil ditumbangkan olehnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jovan berjongkok di depan dua orang yang sudah berhasil ditumbangkan olehnya. Dia menatap dua laki-laki yang kini topengnya sudah berhasil dia buka. Dua laki-laki yang wajahnya sudah penuh dengan luka.

"Apa kalian tetap tidak mau bicara, siapa bos kalian?" tanya Jovan untuk sekian kalinya, karena dua laki-laki di depannya hanya diam sembari menatap kosong ke arahnya.

"Kalian berdua tuli, bisu, atau tidak mengerti bahasa manusia?" Jovan mengambil beberapa jarum suntik yang berhasil dia ambil dari dua laki-laki di depannya.

"Baiklah jika ini mau kalian." Jovan membuka penutup jarum lalu menatap jarumnya dengan lekat.

Dia mengangkat tangannya bersiap untuk menancapkan jarum suntik itu di salah satu tubuh laki-laki di depannya. Namun, tiba-tiba dia mengurungkan niatnya. Jovan merasa aneh pada dua orang di depannya, kenapa mereka tidak bereaksi apa pun sejak tadi?

"Jovan."

Jovan segera menoleh saat ada yang memanggilnya, itu Hanif. Dia segera berdiri lalu membawa semua barang yang dia ambil dari dua laki-laki yang berhasil dia tumbangkan.

Kaki panjangnya melangkah lebar mendekati Hanif yang sudah duduk. "Apa kabarmu?" tanyanya sembari meletakan barang-barang di samping Hanif.

Bukan jawaban yang dia dapatkan, tapi pelukan dari Hanif. Jika bukan karena kondisinya, Jovan sudah melempar tubuh Hanif. Jovan terdiam, dia menghela nafas pelan lalu dengan ragu tangannya menepuk bahu Hanif.

"Apa yang terjadi padamu selama ini?" tanyanya, tapi dia tidak mendapat jawaban apa pun. "Sepertinya aku terlambat bangun, maaf," lanjutnya lalu melepaskan pelukan Hanif dengan pelan.

"Aku tidak tahu pastinya kapan, tapi—" Hanif menunduk yang membuat Jovan merasa sangat iba. Tangannya kembali menepuk bahu rekannya dengan pelan dengan perasaan hangatnya.

Jovan merendahkan tubuhnya menjajarkan wajahnya dengan wajah Hanif. "Percaya padaku, kita akan baik-baik saja."

"Tapi aku tidak bisa melawan mereka," ujar Hanif. "Aku terlalu lemah," lanjutnya lalu kembali menatap Jovan.

Jovan mengerutkan keningnya lalu menegakkan tubuhnya, kenapa temannya yang biasa gila menjadi seperti ini? Biasanya Hanif sangat cerdas dan cerdik saat mengelabuhi lawan, tapi kenapa Hanif terlihat sangat lemah?

Tangan Jovan mengambil jarum suntik yang tergeletak lalu menatapnya. Apa karena cairan ini? Tanyanya dalam hati.

"Mereka selalu memasukkan sesuatu ke tubuhku melalui itu." Hanif kembali bersuara.

"Apa yang kamu rasakan?" Jovan menatap Hanif dengan lekat. 

"Takut, gelisah, dan tenang."

Jovan dan Hanif saling melempar tatapan sampai akhirnya ada suara pintu terbuka. Dengan cepat keduanya segera memegang pistol yang Jovan rampas dari dua laki-laki yang berhasil ditumbangkannya. Namun, belum juga menyerang, sebuah jarum suntik sudah menusuk tengkuk keduanya.

"Sialan. Arghmmm." Jovan mencoba menahan agar jarum itu gagal menembus kulitnya, tapi justru dia yang gagal. Jovan gagal menahannya hingga pistol di tangannya terjatuh. 

"Argh!" Jovan akhirnya menjerit lalu kepalanya dipukul hingga membuatnya terjatuh.

Tangan Jovan ditarik dengan kasar. Meski dia merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya, dia masih sempat mengamati beberapa orang yang sedang menatapnya. Tubuhnya di lempar, bahkan saat dia akan berdiri, sebuah pukulan kembali mengenai kepalanya hingga dirinya ambruk.

Kakinya di pasung, tangannya di rantai ke atas. Jovan meronta ingin di lepaskan, tapi dia hanya merasakan sakit pada pergelangan tangannya saja.

"Sialan!"

"Lepaskan!" Jovan terus berteriak dan meronta. Namun,  sepertinya semuanya hanya sia-sia saja. Karena sekeras apa pun dia berteriak dan meronta, itu tidak akan membuatnya dilepaskan.

Akhirnya dia hanya diam sembari menahan emosinya. Jovan membelakan matanya saat melihat Hanif yang di dudukan di kursi listrik yang bertegangan tinggi.

"Sialan!"

"Dia bisa mati!" Jovan kembali meronta saat melihat temannya dipermainkan di atas kursi listrik. 

"Arghmmm." Ternyata bukan hanya Hanif, dirinya juga di perlakukan dengan cara yang sama.

Jovan mengepalkan kedua tangannya sembari memejamkan matanya. Ini aneh, dia tiba-tiba merasa tenang meski tubuhnya disetrum dengan listrik dengan tegangan tinggi, kemudian dia menatap Hanif yang juga terlihat tenang.

Tunggu, Hanif tenang atau? Jovan menggelengkan kepalanya. Temannya pasti baik-baik saja. Jovan memejamkan matanya, sesekali dia merasakan sesuatu yang aneh terjadi padanya. Dia merasa bahagia meski tubuhnya di siksa. Perasaan apa ini? Apa dia sudah gila. Sampai akhirnya, Jovan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya dan temannya. 

***

Jovan membuka matanya, tangannya memegang kepalanya lalu segera duduk. Dia menatap sekeliling lalu mencoba mengingat apa yang terjadi.

Prajurit itu menatap tangannya yang sudah tidak terantai lagi, bahkan kakinya sudah terbebas. alat-alat itu sudah tidak ada di sekitarnya. Lalu di mana temannya? Jovan segera mencari keberadaan Hanif yang ternyata terbaring di sampingnya lalu mengecek keadaannya.

Jovan menghela nafas lega saat merasakan nafas hangat Hanif. Dia kembali menatap ke arah lain, ternyata di depannya sudah ada kotak dan juga beberapa botol air mineral. Tangannya meraihnya lalu membukanya, ada beberapa bungkus roti.

Mereka menyiksa, tapi memberi makan? Jovan menatap roti dengan lekat. Kemungkinan besar, mereka tidak akan membunuhnya dan kedua temannya. Meski seperti itu, dia tetap harus berhati-hati. 

Jovan memejamkan matanya, dia mencoba mengingat apa yang dia rasakan saat di siksa. Dia yakin sekali, kalau yang dimasukkan ke dalam tubuhnya adalah sebuah narkotika.

"Cairan jahanam." Jovan membuka matanya. 

"Apa itu?"

Jovan menoleh saat mendengar suara Hanif yang rupanya baru sadar. "Cairan yang dimasukkan ke tubuh kita," sahutnya lalu mengambil satu roti dan memberikan sisanya pada Hanif.

"Mereka mencoba cairan itu pada kita sebelum didistribusikan. Mereka akan melihat efek yang terjadi pada kita terlebih dahulu," lanjut Jovan.

"Maksudnya kita ini manusia percobaan?"

Jovan menatap Hanif lalu mengangguk. "Makanlah, kita harus tetap kuat jika ingin bertahan," ujarnya.

Jika hanya sekedar untuk menyiksa, kenapa mereka membiarkan para prajurit tidak merasakan sakit saat di siksa? Lalu kenapa mereka tetap memberikan makan jika ingin menyiksa, bukankah akan lebih menyenangkan melihat korban di siksa saat kelaparan? Siapa dibalik semua ini? Jovan tersenyum miring lalu memakan roti di tangannya. 


Bersambung...

Jangan lupa nabung ya mulai sekarang, buat siders juga jangan lupa nabung. ♡

Hidden FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang