Sulutan Api Dendam

182 23 14
                                    

----Satu bulan sebelumnya-----

"Sebenernya apa sih yang Mbak lihat dari Mas Tio? Dia itu udah selingkuhin Mbak! Nggak ngasih nafkah lagi! Dan sekarang aku lihat pakai mata kepalaku sendiri. Si bangsat ini mukulin Mbak kaya orang kesetanan!"

Masih teringat jelas seperti apa ekspresi kemarahan Damar dan kata-kata kasarnya saat ia melihat Tio memukuli Kamila waktu itu. Kamila tahu Damar akan bereaksi demikian. Bahkan lebih parah jika saja ia tidak menahan lengan Damar saat hendak mengayunkan kursi makan yang terbuat dari kayu jati peninggalan VOC ke tubuh Tio.

Benar apa yang dikatakan Damar. Tio selingkuh. Dan malam itu adalah kali kedua Kamila memergoki Tio jalan bergandengan dengan wanita lain. Kamila yang terlalu frontal langsung bertanya pada Tio saat dia pulang, tapi belum apa-apa Kamila sudah dipukuli sampai hidungnya berdarah. Tepat di saat itulah Damar datang dan balas memukuli Tio. Kamila berusaha melerai mereka. Damar memaki dan terus-terusan ingin menonjok Tio lebih keras. Namun, entah mengapa Kamila merasa Damar terlalu ikut campur urusan rumah tangganya. Meskipun Tio sudah berbuat di luar batas, dia tetaplah suaminya dan bagaimana pun situasinya, Kamila ingin mengendalikan semuanya sendiri. Ia terlalu berharap pada keajaiban bahwa suatu hari Tio bisa berubah lebih baik dan menjadi Tio yang Kamila kenal sebelum mereka menikah.

Sayangnya kejadian itu malah membuat Damar kecewa. Ia tidak pernah lagi menghubungi Kamila, sekadar menanyakan kabar apalagi datang menjenguk. Sementara Kamila, masih dengan kebodohan yang terus saja dipermainkan Tio.

"Aku udah dapat kerjaan. Syukurnya ada teman lama yang mau bantu," kata Tio saat sarapan di hari pertama dia bekerja.

Senyum Kamila seneringah seketika mendengar kabar baik itu. Setidaknya Tio punya pekerjaan dan keuangan mereka tidak terlalu bergantung dari penghasilannya sebagai tukang potong ayam di kios Bang Mamat dan sampingannya sebagai kreator konten media sosial UMKM.

"Oh ya? Alhamdulillah ... akhirnya kamu dapat kerjaan juga. Memangnya siapa yang kasih kamu kerjaan?" tanyanya ingin tahu.

Tio meneguk kopi hitamnya sesaat sebelum menjawab, "Kamu nggak perlu taulah siapa, Pokoknya orang kaya raya dan lumayan terkenal."

"Terkenal? Siapa? Artis?"

"Semacam itu," jawab Tio singkat.

Kamila memungut piring bekas sarapan Tio dan menaruhnya di bak cuci piring. "Jadi penasaran aku tuh ..."

"Udah, nggak perlu tahu kamu," potong Tio sambil berdiri. Ia menyulutkan api ke rokok di mulutnya. Asap mengepul ketika Tio menghembuskannya tepat di depan Kamila. "Karena sekarang aku udah kerja, tolong jangan kamu curigai aku lagi. Aku udah janji sama kamu nggak bakal selingkuh, kan? Semisal aku pulang kemalaman, tolong jangan tanya yang macam-macam."

Tatapan mata Tio tidak setajam biasanya. Kali ini lebih sendu. Kamila merasakan ketulusan terpancar dari dalam diri suaminya meski hanya beberapa detik. Senyum Tio membuatnya percaya akan kalimatnya yang pernah berjanji untuk tidak lagi bermain dengan wanita lain.

Kamila mengangguk. Cukup menjadi istri yang penurut saja selama apa yang Tio katakan tidak menyurutkan semangatnya mencari nafkah.

Satu minggu berlalu sejak Tio bekerja sebagai supir pribadi. Setiap hari dia berangkat jam setengah tujuh pagi sedangkan Kamila pergi bekerja membantu Bang Mamat di kios potong ayam setengah jam setelahnya. Malamnya, Tio pulang setiap jam delapan sementara Kamila menunggu di rumah sambil mengerjakan beberapa materi konten klien. Kamila merasakan kehidupan kembali normal. Tidak ada perdebatan kecuali cerita-cerita seru yang saling bertukar.

***

Terhitung sudah hampir satu tahun Kamila bekerja sebagai tukang potong ayam yang letaknya hanya lima ratus meter dari rumah. Ia sangat berterima kasih pada Mamat, seorang pria dengan tiga orang anak yang giat menjalankan usahanya sejak muda. Terus terang ini bukanlah pekerjaan yang pernah ada di dalam daftar cita-cita Kamila. Siapa juga yang pernah memimpikan bekerja dengan cipratan darah dan tahi hewan, bau amis, penyakit kulit, dan sama sekali tidak ada cantiknya. Namun nyatanya, kebutuhan ekonomi mampu mengubah seseorang yang hidupnya sok elit jadi jempalit.

Akal Sehat Terancam PunahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang