Aku duduk dan meletakkan tas pink ku di samping kursi, di samping Nael. Hatiku masih berdebar kencang, tetapi aku mencoba menenangkan diri. Dalam hati, aku berjanji untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang, meski harus duduk di sebelah Nael. Satu tahun ke depan akan menjadi pengalaman yang berbeda, dan aku siap menghadapinya.
Aku tersenyum ke arah Nael, selebar mungkin, se ramah mungkin. "Hai, Namuel! Aku Star."
"Aku tahu," tukasnya.
Aku tetap tersenyum, walau mungkin senyumku sudah terlihat aneh. "Senang bertemu denganmu! Kita bisa jadi teman sebangku mulai hari ini." Aku mengulurkan tangan kananku ke arahnya.
Dan, Nael tidak menanggapi, tidak membalas uluran tanganku.
"Namuel suka pelajaran apa? Kalau aku, sih, nggak suka pelajaran. Tapi suka main!" Pokoknya, aku berusaha keras agar Nael menjadi temanku. Walau kata Yui, "Percuma Star. Mending kamu duduk manis dan nggak usah bertingkah apapun. Nael susah didekati."
Masih tanpa menoleh ke arahku, Nael mengangkat bahunya. "Aku pintar di semua pelajaran."
WAH SOMBONGNYA.
"Hobi Namuel apa? Star tebak pasti main bola!" celotehku.
Kemudian, dia melihat mataku. "Kok kamu tahu?" tanyanya, datar.
"Aku tahu karena aku suka main bola juga!" balasku. "Star sering lihat Namuel main bola. Keren!" Aku mengacungkan jempol ku ke arahnya, memberi pujian yang memang pantas Nael dapatkan.
"Lumayan lah," katanya. "Kamu sendiri mainnya gimana?"
YES, AKHIRNYA KOMUNIKASI INI TIDAK SATU ARAH.
Aku menyengir. "Aku suka ngejar-ngejar bola, tapi sering nggak kena. Hehe."
Sedetik kemudian, aku terperangah saat melihat Nael melepaskan tawanya. Eh, aku tidak salah lihat, ya? Nael tertawa? Bukan hanya itu, ketampanannya bertambah sepuluh kali lipat detik itu juga!
"Nggak apa-apa, yang penting senang mainnya," katanya, kali ini nada bicara Nael sudah terdengar santai di telingaku.
Aku kembali tersenyum, kali ini tanpa terpaksa. "Namuel bisa ajarin Star biar jago nggak?"
"Bisa, asal kamu mau serius belajar mainnya," jawabnya.
"Makasih, Namuel!" ungkap ku. "Tapi gimana kalau di kelas? Aku sering nggak ngerti pelajarannya."
Nael menghela nafas, seakan sudah lelah menghadapi tingkahku. "Nanti kalau ada yang kamu nggak ngerti, tanya aja. Aku bantu."
"Serius?" ucapku tak menyangka. "Namuel baik banget! Terima kasih, Namuel!"
"Nggak masalah. Asal kamu beneran mau belajar."
Aku tersenyum lebar. "Pasti! Star janji. Biar bisa main bola sama Nael juga nanti." Tiba-tiba, aku tersadar bahwa aku memanggilnya Nael saat Nael menoleh ke arahku dengan tatapan heran. "Eh-maaf, maksud Star tadi Namuel bukan Nael," ucapku panik. "Star nggak akan panggil Namuel Nael lagi kalau Namuel nggak suka. Star minta ma-"
"Aku suka," sahut Nael tiba-tiba.
"Ya?"
"Terserah kamu mau panggil aku apa."
"Oke Nael!" Aku senang karena Nael tidak masalah dengan nama panggilan yang aku berikan. Apakah ini berarti kami sudah cukup akrab?
Beberapa menit kemudian saat kelas hening karena pembelajaran masih berlangsung, aku menoleh ke arah Nael dengan kepala yang ku telungkupkan di atas meja beralaskan kedua tangan. "Nael," panggilku pelan.
"Kenapa?" balasnya tanpa ekspresi.
"Do you wanna be my company?" tanyaku dengan suara berbisik.
"Lihat nanti," jawabnya, datar sekali.
Aku mengerucutkan bibirku, sebal. "Baiklah."
Begitulah kira-kira obrolan panjang kami yang pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Know You're a Star
Teen FictionStar Sydney, seorang gadis kecil yang ceria dan penuh semangat, memulai hari pertamanya di kelas 2C dengan harapan baru. Setelah insiden kecil dengan pita pink, dia bertemu Nael. Meski awalnya canggung, kehadiran Nael membawa kenyamanan dan kesenang...