Episode 5

1 0 0
                                    

   "Hati-hati di jalan, Ken. Jangan lupa, titip kan salam ku kepada nya."

Aku mengangguk, melambaikan tangan. Kembali berjalan menuju rumah.

Aku sudah melewati perbatasan. Ada sejumlah penjaga di gapura, mereka menyapa ku. Aku mengenal salah satu dari mereka, yaitu Pak Seny.

Pak Seny sudah ada dari aku kecil, dia bekerja di sini. Menjaga perbatasan distrik sungai biru. Umur nya mungkin sudah genap empat puluh tahun.

Dia sangat sering mengantarkan ku pulang ke rumah. Ingat, aku dulu sering bermain di distrik sungai biru. Pak Seny khawatir, jika aku pulang sendirian ke distrik bata hitam. Karena sangat rawan terjadi sesuatu.

Pak Seny juga memiliki seorang anak. Aku pernah bertemu—jarang tapi, aku masih mengenal wajah nya. Di leher nya terdapat tanda, seperti bekas luka bakar. Menurut cerita Pak Seny, dulu pernah terjadi kecelakaan insiden meledak nya sebuah labolatorium, di dekat distrik bata hitam.

Rumah Pak Seny kalau tidak salah ingat, juga berada distrik yang sama, hanya beda blok nya. Karena kejadian yang menimpa anak nya, dia juga khawatir kepada ku. Owh iya, aku ingat nama nya, Hendy. Hanya menukar huruf depan, dan menambah huruf konsonan saja.

Hari mulai petang, matahari mulai bergerak ke ufuk barat. Udara terasa sedikit lembab. Hanya bata hitam yang di hiasi lumut sepanjang mata memandang. Air menggenang tipis di jalanan. Seperti habis hujan di sini.

Satu-dua anjing berkeliaran. Menatap dan menyalak ke arah ku. Aku menghiraukan nya. Dulu, aku pernah di kejar oleh anjing-anjing sialan ini. Entah siapa yang melepaskan anjing kelaparan ke jalanan. Sangat membahayakan.

Lampu jalan mulai menyala. Jalanan sepi, tidak ada manusia yang melintas. Keadaan semakin sunyi dan mencekam. Suara detak jantung sendiri pun dapat terdengar.

Aku sudah berada di blok B, masih harus berjalan sedikit, menuju ujung gang. Rumah ku berada di blok C. Masih agak sedikit jauh.

Mata ku menyapu bersih ke depan. Banyak bangunan yang sudah terbengkalai. Bekas-bekas reruntuhan di biarkan begitu saja.

   "Hei nak, kau darimana. Lewat sini harus bayar." Seorang pria berjalan terhuyung-huyung. Membawa sebotol minuman di tangan nya.

Aku menatap nya sinis. Aku tetap melangkah melewati nya.

   "Hei, nak kau tidak mendengarkan orang tua ini." Suara nya masih terdengar.

Gapura blok C mulai terlihat. Aku mempercepat langkah ku. Berada di luar rumah sangat tidak nyaman. Banyak hal aneh yang dapat di temukan.

Lampu jalan kembali menyala. Seorang kakek tua baru saja menyalakan. Aku tersenyum melihat nya. Kakek itu menatap datar. Aku lebih mempercepat langkah ku.

Cahaya lampu kekuningan mulai nampak. Itu lampu khas kedai paman Orf. Dia sudah ku anggap seperti ayah ku sendiri.

   "Hai Ken, kemarilah, temani dulu orang tua ini." Seorang pria berbadan besar keluar dari dalam kedai.

Aku menghampiri nya, membungkuk memberi hormat.

   "Apa-apaan ini, jangan terlalu kaku dengan ku. Ayo duduk lah dulu." Menarik kursi yang kosong, aku duduk di sebelah nya. Aku meletakkan rantang buah di tengah meja.

   "Waw, darimana kau mendapat kan nya. Habis manjat pohon kah?" Paman tertawa, sambil memilih buah yang ada di dalam rantang.

Aku cengengesan. "Ya kali, ini pemberian ayah Vinra. Oh iya, aku hampir melupakan sesuatu, paman ingat Pak Seny, tadi dia menitip salam untuk mu." Ujar ku, sambil memakan buah pisang.

Initium: OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang