Episode 6

5 1 0
                                    

Cahaya matahari mulai merambat, mengusap kepala ku dengan lembut. Mata ku memerjap. Jendela kamar terbuka, angin sepoi berhembus lembut.

Aku beranjak dari kasur, berjalan menuju kamar mandi untuk berkemas. Setelah mandi, aku memakai pakaian seragam ku, dan kembali berkreasi di dapur. Semua harus ku lakukan sendiri.
Aku mengambil tas ku, memasuk kan pelajaran untuk hari ini.

"Baiklah, tidak ada yang ketinggalan. Aku berangkat." Ujarku, mengunci pintu rumah.

Udara terasa sejuk. Hawa dingin masih menyelimuti, walau matahari mulai naik. Aku menoleh, kedai paman belum buka.

"Selamat pagi anak muda, kau bersemangat sekali hari ini. Apa kau tidur nyenyak tadi malam?" Paman tertawa menyapaku.

Paman sedang menyiram bunga di halaman rumah nya. Rumah dan kedai paman terpisah. Kedai paman berada di ujung perumahan blok C. Sedangkan rumah ku dan rumah paman saling berdekatan. Rumah paman sangatlah indah—walau menggunakan bata hitam juga. Halaman rumah nya sangat luas, dan banyak sekali tanaman pot. Paman hobi sekali merawat bunga-bunga.

Aku menghampiri nya. "Tanaman mu sangat indah paman."

   "Tentu saja, aku kan ahli dalam merawat nya." Menyirami tanaman yang lain.

   "Aku berangkat dulu paman." Aku melambai, berlari meninggalkan nya.

Paman balas melambai. "Hati-hati di jalan Ken."

Tidak ada beda nya, pagi dan malam jalanan tampak sepi. Tidak ada anjing yang berkeliaran. Tumben sekali, apa masih tidur. Ah, masa bodo, kenapa aku mikiran hal yang gak jelas.

Aku mempercepat langkah ku. Aku takut terlambat. Biasa nya tiap pagi, ada angkutan umum yang sedang nongkrong di depan gang. Jurusan Bata hitam-Sun Bir. Kalian baru sadar, kenapa hanya pagi ada angkutan umum. Aku pun tidak tahu alasan nya. Yang jelas, bukan tidak ada, melainkan takut masuk ke daerah distrik bata hitam.

Kenapa bisa seperti itu? Dulu aku pernah mendengar rumor. Seorang supir angkot tewas akibat menjadi kelinci percobaan, saat melintas di distrik bata hitam. Hal itu membuat takut para pekerja. Itu sebab nya hanya berani menerima penumpang di jam-jam kerja. Seperti pagi hari, sisanya pasti tidak akan melintas masuk ke distrik bata hitam.

Aku terkadang suka heran, sebegitu seram kah distrik ini? Padahal di dalam nya tidak terlalu seperti itu. Ada paman Orf yang selalu ceria. Tapi, seperti nya hanya paman yang waras-maksud ku tidak berbahaya. Aku bisa berkata seperti ini, karena aku belum merasakan hal yang seperti itu secara langsung.

Aku sih berharap tidak ingin. Siapa juga yang ingin mengalami kejadian yang mengerikan.

   "Jalan pak!" Seru ku. Aku melihat jam di handphone. Enam lewat lima belas. Aku tidak ingin telat.

   "Udah gk ada lagi dek, yowis kita berangkat." Mesin mulai berderit menyala, mobil perlahan bergerak berjalan.

Udara pagi masih terasa sejuk. Aku membuka jendela mobil, rambut ku tertiup lembut angin yang masuk.

   "Setiap pagi penumpang nya pasti cuma kamu. Distrik bata hitam kayak kota mati aja. Ngak ada orang selain kamu." Pak sopir memecah keheningan.

   "Iya, saya sendiri juga gak tahu." Aku menjawab selintas, asyik melihat pemandangan dari jendela mobil.

   "Kamu tinggal di sana dek?"

   "Iya, memang nya kenapa?" Aku bertanya balik.

   "Saya gak nyangka kamu kuat di kota itu. Saya sih mending keluar dari tempat itu, ngeri."

Aku terdiam, tidak menanggapi omongan pak supir.

Gapura besar dan tinggi mulai terlihat. Perbatasan distrik bata hitam dengan sungai biru. Mobil melaju dengan kecepatan maksimal. Aku kembali melihat handphone, jam enam lewat dua puluh tiga. Waktu telah berjalan delapan menit. Semoga saja aku sampai ke sekolah tepat waktu.

Initium: OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang