Malam itu Viona duduk di bangku taman yang tersembunyi di balik pepohonan. Wajahnya pucat, dan matanya bengkak karena menangis. Rambutnya yang biasanya terurai indah kini berantakan dan basah oleh air mata.
Dia masih merasakan getaran kata-kata pedas dari atasannya, Pak Agus. "Viona, pekerjaanmu sangat buruk! Ini sudah kesekian kalinya kamu membuat kesalahan. Jika kamu tidak bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik, mungkin kamu seharusnya mencari pekerjaan lain!"
Viona menunduk dan menggenggam tangannya erat-erat. Dia merasa hancur. Bagaimana mungkin dia bisa begitu bodoh? Dia selalu berusaha keras, tapi sepertinya tak pernah cukup. Air mata terus mengalir, dan dia merasa seperti dunia ini menekannya.
Taman yang biasanya indah dan damai kini terasa suram. Bunga-bunga yang berwarna cerah seolah ikut menangis bersamanya. Viona merenung tentang hidupnya. Apakah dia memang tidak layak? Apakah dia harus menyerah?
Namun di tengah keputusasaan itu, Viona di kejutkan oleh sepasang kaki di depannya.
"Kamu kenapa nangis? Ada yg jahatin kamu ya? Temanmu nakal? Kamu di pukul?" Suara berat itu bernada aneh di telinga Viona. Meski masih menunduk dia tahu bahwa yang berada di depannya adalah seorang pemuda dewasa, namun nada bicaranya seperti seolah-olah sedang merujuk kepada anak kecil.
Viona mengangkat wajahnya perlahan. Cahaya rembulan menerangi wajah pemuda yang berdiri di depannya. Matanya terbelalak ketika dia melihat sosok itu. Pemuda itu memiliki rambut coklat yang di ikat air mancur.
"Maaf" kata Viona dengan suara serak. "Gue cuma sedang... sedang berpikir"
Pemuda itu memiringkan wajahnya. "Berpikir sambil nangis?" Katanya dengan nada yang masih aneh. "Itu gak masuk akal. Apa yang buat kamu nangis?"
Viona merasa kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan orang asing, apalagi dengan orang yang berbicara seperti ini. Namun, dia merasa ada sesuatu yang berbeda pada pemuda ini. Ada kehangatan di matanya, meskipun dia berbicara dengan nada aneh.
"Bos gue,” Viona akhirnya menjawab. “Dia… dia terlalu keras. Gue jadi merasa hancur.”
Pemuda itu mengangguk. "Mamaku juga sering begitu. Tapi, kamu harus tahu, aku gak pernah nangis walaupun di marahin sama mama atau di tegur karena salah."
Viona menatap pemuda itu dengan rasa penasaran. Wajahnya yang pucat mulai memperoleh sedikit warna. “Mama lo juga keras sama lo?” tanyanya.
Pemuda itu mengangguk lagi. “Iya, dia selalu mengharapkan yang terbaik dari aku dan mencoba untuk mengubah aku sesuai kemauan nya. Tapi aku belajar untuk gak menyerah. Kita semua punya kelemahan dan kesalahan, tapi itu bukan akhir dari segalanya.”
Viona merasa ada kehangatan dalam kata-kata pemuda itu. “Tapi gimana lo bisa gak nangis? Gue aja merasa begitu hancur.”
Pemuda itu tersenyum. “Ketika kita merasa hancur, kita harus mencari cahaya di tengah kegelapan. Ada banyak cara untuk mengatasi kesulitan. Misalnya, menulis puisi, berbicara dengan teman, atau hanya duduk di taman seperti ini.”
Viona mengangguk. “Apa lo punya saran lain?”
Pemuda itu berpikir sejenak. “Coba bayangkan diri kamu sebagai pahlawan dalam cerita. Pahlawan tidak menyerah ketika menghadapi masalah. Mereka mencari solusi, bahkan jika itu sulit. Kamu juga bisa melakukannya.”
Viona tersenyum. “Makasih. Gue akan mencoba.”
Pemuda itu mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Viona dengan lembut. “Ingatlah, kamu lebih kuat daripada yang kamu kira. Dan jangan pernah takut untuk menangis jika kamu perlu.”
Viona merasa hangat di hatinya. “Siapa nama lo, sebenarnya?”
Pemuda itu tersenyum misterius. “Namaku… adalah rahasia.” Lalu dia berjalan pergi, meninggalkan Viona dengan perasaan campur aduk.
Viona hendak akan memanggilnya. Tapi dia kembali menutup mulut. Pemuda itu walau aneh tapi memiliki perbedaan dari orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON CHILD
Teen FictionViona dan Alex, dua jiwa yang bertemu di taman yang penuh keajaiban. Pertemuan mereka adalah seperti dua dunia yang berbeda bersatu dalam satu momen. Viona, seorang desainer muda yang terjebak dalam rutinitas kota, menemukan kehangatan dan kepolosan...