Keesokan harinya, Viona memutuskan untuk mencari inspirasi di taman bermain. Dia ingin merasakan kembali semangat kreativitas yang pernah mengalir begitu deras di masa kecilnya. Lingga, kakaknya, menawarkan diri untuk menemaninya namun Viona menolak.
“Viona,” kata Lingga, “Kenapa Lo melarang gue ikut? Kita bisa berbicara dan berbagi cerita.”
Namun, Viona menggeleng. “Gak, makasih. Gue pengen pergi sendirian. Gue butuh waktu untuk merenung dan fokus pada desain gue.”
Lingga mengangguk. “Oke. Tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi gue ya.”
Viona tiba di taman bermain yang sepi. Ayunan kosong bergoyang pelan oleh angin. Dia duduk di bawah pohon, memandangi perosotan dan membiarkan pikirannya melayang. Di antara suara dedaunan dan cahaya matahari yang tembus, dia berharap menemukan inspirasi baru.
Cahaya matahari tembus di antara daun-daun pohon, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah. Suara dedaunan yang berdesir dan aroma bunga-bunga mengisi udara.
Dia merasa campur aduk. Di satu sisi, ada ketenangan dan keindahan alam yang menenangkan pikirannya. Di sisi lain, tekanan dari pekerjaan masih menghantuinya. Desain-desain yang belum sempurna, teguran dari atasan, dan perasaan kehilangan semangat kreativitas—semua itu berputar-putar di benaknya.
“Mungkin gue harus bermain seperti dulu,” gumam Viona pada dirinya sendiri. “Mungkin di antara ayunan dan perosotan, gue akan menemukan inspirasi yang hilang.”
Viona berdiri di ujung perosotan, matanya berbinar-binar. Dia merasa seperti seorang anak kecil lagi, siap untuk meluncur turun dan merasakan angin di wajahnya. Taman itu sunyi, hanya ada suara gemercik air dari kolam di dekatnya.
Dia menatap perosotan itu dengan penuh semangat. Kayu perosotan terlihat halus dan mengundang. Dia membayangkan bagaimana rasanya ketika tubuhnya menyentuh permukaan kayu itu, bagaimana gravitasi akan menariknya ke bawah dengan cepat.
Viona mengambil nafas dalam-dalam dan melangkah maju. Dia merasakan getaran kegembiraan di perutnya saat kakinya menyentuh anak tangga pertama. Tangga-tangga itu terasa dingin dan sedikit licin karena embun pagi yang masih menempel.
Dia duduk di atas perosotan, merasakan kayu yang keras di bawahnya. Pandangannya meluncur ke bawah, melihat jalur perosotan yang meliuk-liuk hingga ke tanah. Dia menggenggam pinggiran perosotan dengan erat, siap untuk meluncur.
“Siap!” Viona berteriak, dan dengan satu dorongan, dia meluncur turun. Angin bertiup di wajahnya, dan dia tertawa dengan riang. Perosotan itu lebih cepat daripada yang dia bayangkan, dan dia merasakan sensasi bebas dan berat di perutnya.
Ketika dia mencapai bagian bawah, dia meluncur keluar dari perosotan dan mendarat dengan lembut di rumput. Wajahnya berbinar, dan dia merasa seperti seorang anak lagi. Kegembiraan itu mengalir melalui tubuhnya, menghapus semua beban dan kekhawatirannya.
Viona berdiri dan melihat ke atas, ke perosotan yang baru saja dia taklukkan. Dia tahu bahwa hidup juga seperti perosotan ini—kadang-kadang kita harus menghadapi tantangan dan meluncur turun dengan keberanian. Tapi pada akhirnya, kita akan mendarat dengan selamat dan merasakan kebahagiaan.
Dia berjalan kembali ke perosotan, siap untuk meluncur lagi. Kali ini, dia akan menutup matanya dan merasakan setiap detiknya dengan lebih dalam. Karena di taman ini, di perosotan ini, dia menemukan kebahagiaan yang sederhana dan tulus.
Kemudian dia beralih ke ayunan. Dia duduk di ayunan, merasakan kayu yang dingin di bawahnya. Dia memegang tali ayunan dengan erat dan mengayunkan kakinya. Ayunan itu bergerak perlahan, membawanya ke depan dan ke belakang. Dia merasakan sensasi bebas dan ringan, seperti terbang di atas awan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON CHILD
Teen FictionViona dan Alex, dua jiwa yang bertemu di taman yang penuh keajaiban. Pertemuan mereka adalah seperti dua dunia yang berbeda bersatu dalam satu momen. Viona, seorang desainer muda yang terjebak dalam rutinitas kota, menemukan kehangatan dan kepolosan...