BAB 1

11 0 0
                                    

Di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON), suasana ruang tunggu terasa tenang. Dindingnya dicat dengan warna biru lembut, dan lampu-langit-langit mengeluarkan cahaya temaram. Syila duduk di samping putranya, Alex. Pemuda itu duduk dengan wajah tegang. Dia memegang secarik kertas dengan hasil pemeriksaan otaknya.

Dokter yang bertanggung jawab memasuki ruangan. Dia adalah Dr. Mahar Mardjono, seorang ahli saraf terkemuka. Wajahnya serius, tetapi matanya penuh dengan kehangatan.

“Selamat siang, Ibu Syila,” kata Dr. Mardjono. “Dan ini Alex, bukan?”

Syila mengangguk. “Ya, Dokter. Kami berharap ada kemajuan dari kondisi otak Alex.”

Dr. Mardjono mengambil kursi di depan mereka. Dia membuka hasil pemeriksaan dan memeriksa dengan seksama. “Alex,” katanya, “kamu memiliki gangguan otak yang unik. Tapi kami telah melakukan beberapa tes tercanggih untuk memahami lebih lanjut.”

Alex menelan ludah. “Mama selalu ngajak Alex ke sini untuk periksa. Alex sampai bosan.”

Dr. Mardjono tersenyum. “Sabar ya Alex ini semua demi kebaikan kamu juga. Tapi Sayangnya, hasil pemeriksaan kali ini menunjukkan bahwa belum ada perubahan signifikan pada otakmu. Kita harus tetap sabar dan terus berusaha.”

Syila menatap dokter dengan getir. “Jadi, apa yang harus kami lakukan selanjutnya?”

Dr. Mardjono menutup hasil pemeriksaan. “Kami akan merancang program rehabilitasi khusus untuk Alex. Terapi fisik, terapi bicara, dan terapi okupasi akan membantu memperkuat konektivitas otaknya. Dan tentu saja, kita akan terus memantau perkembangannya.”

Syila mengangguk. “Terima kasih, Dokter.”

Dr. Mardjono berdiri. “Semangat, Alex. Kita akan bekerja bersama untuk memastikan kemajuanmu.”

Dr. Mardjono menatap Alex dengan serius. “Alex,” katanya, “kamu mengatakan bahwa kamu tidak bisa terkena sinar matahari kan saat itu?. Apakah ada alasan khusus mengapa kamu harus menghindari cahaya matahari?”

Alex mengangguk. “Iya, Dokter. Kulit Alex kata Mama sangat sensitif terhadap sinar matahari. Kalau Alex  terkena cahaya matahari, kulit Alex akan terbakar dan terasa sangat sakit.”

Dr. Mardjono mengangguk memahami. “Saya melihat beberapa gejala pada kulitmu. Apakah kamu pernah mengalami terbakar matahari sebelumnya?”

Alex menggeleng. “gak, Dokter. Alex selalu berusaha menghindari sinar matahari sebisa mungkin.”

Dr. Mardjono menjelaskan, “Terbakar matahari adalah kondisi di mana kulit mengalami kerusakan akibat paparan sinar ultraviolet (UV) dari matahari. Gejalanya meliputi gatal, nyeri, kulit melepuh, dan bintik-bintik kecil di kulit. Kulit juga dapat menebal dan mengeras.” Dr. Mardjono menjelaskan lebih lanjut, “Ketika kulit terkena sinar matahari, sel-sel kulit mengalami kerusakan. Sinar UV dapat merusak DNA dalam sel kulit, menyebabkan peradangan dan reaksi alergi. Pada beberapa orang, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap sel-sel kulit yang terpapar sinar matahari, menyebabkan alergi matahari. Sel kulit yang sebenarnya tidak berbahaya justru dianggap demikian oleh sistem imun. Akibatnya, sistem imun memproduksi protein yang kita kenal sebagai antibodi. Ini dapat menyebabkan gejala seperti gatal, ruam, dan peradangan pada kulit2.”

Alex mengangguk serius. “Jadi, apa yang harus Alex lakukan untuk melindungi diri dari sinar matahari?”

Dr. Mardjono memberikan beberapa saran, “Pertama, hindari terlalu lama berada di bawah sinar matahari, terutama saat matahari sedang terik. Gunakan tabir surya dengan SPF tinggi dan kenakan pakaian pelindung. Jangan lupa untuk memakai topi dan kacamata hitam. Dan yang terpenting, selalu konsultasikan dengan dokter jika ada gejala yang mencurigakan.”

MOON CHILDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang