Alex memandang keluar jendela, melihat beberapa anak kecil bermain di depan rumahnya. Mereka tertawa riang, berlarian, dan mengejar bola. Wajah mereka penuh semangat dan kebahagiaan. Alex merasa iri. Dia ingin sekali ikut bermain, merasakan kebebasan dan kegembiraan yang sama.
Namun, Syila, ibunya, sedang sibuk di dapur. Alex tahu dia tidak boleh keluar. Ibu selalu mengingatkan dia untuk tidak bermain di luar rumah sendirian. Tapi hati Alex berkata lain. Dia ingin merasakan tanah di bawah kakinya, berlari, dan tertawa seperti anak-anak di luar sana.
Dengan berani, Alex mengendap-endap ke pintu depan. Dia menghindari langkah keras dan berusaha agar tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu ini melanggar peraturan, tapi dia ingin merasakan kebebasan sejenak. Dia membuka pintu perlahan dan melangkah keluar.
Anak-anak itu melihatnya dan berhenti bermain sejenak. Alex merasa gugup. Apa yang akan mereka pikirkan tentangnya? Tapi kemudian, salah satu anak laki-laki menghampirinya.
"Kamu mau ikut bermain, Kak?" tanya anak itu dengan senyum ramah.
Alex terkejut. "Eh, iya. Bolehkah?"
Anak itu mengangguk. "Tentu aja! Ayo, kita main bola bersama!"
Alex merasa senang. Dia bergabung dengan anak-anak itu, berlari, dan tertawa. Syila mungkin akan marah nanti, tapi saat ini, dia merasa hidup. Dia tahu dia melanggar peraturan, tapi kadang-kadang, berani melanggar sedikit aturan bisa membawa kebahagiaan yang tak terduga.
Alex merasa senang bisa merasakan kebebasan sejenak. Namun, tiba-tiba dadanya terasa sesak, dan dia merasa kesakitan.
Kulitnya terasa terbakar, dan wajahnya memerah. Dia mencoba bernapas, tapi napasnya pendek dan terengah-engah. Anak-anak itu melihatnya dengan khawatir.
"Kak Alex, kenapa?" tanya salah satu anak laki-laki dengan cemas.
Alex mencoba tersenyum, meskipun dia merasa lemas. "Aku... aku gak tahu. Dadaku terasa sakit, dan kulitku terbakar."
Anak-anak itu membantunya duduk di bangku depan rumahnya. Alex merasa pusing dan lemas. Dia mencoba mengambil napas dalam-dalam, tapi dadanya semakin sesak. Kulitnya masih terasa panas, dan dia merasa seperti dia akan pingsan.
Syila, ibunya, keluar dari rumah dengan cepat. "Alex, apa yang terjadi?" katanya dengan khawatir.
Alex mencoba menjawab, tapi suaranya serak. Dia merasa lemas dan pingsan. Anak-anak itu memandangnya dengan ketakutan.
Syila memeriksa nadi Alex dan memanggil nomor darurat. "Kita harus segera ke rumah sakit," katanya dengan tegas.
Anak-anak itu melihat Alex yang pingsan dengan khawatir. Mereka berdiri di sampingnya, berharap dia akan segera sadar. Tiba-tiba, semuanya menjadi gelap, dan Alex kehilangan kesadaran.
Syila berjalan gelisah di depan ruang periksa rumah sakit. Wajahnya pucat, dan matanya mencari-cari tanda-tanda Alex. Dia merasa marah, kecewa, dan sedih. Bagaimana bisa Alex berani melanggar aturan yang sudah dia tetapkan? Dia selalu mengingatkan Alex untuk tidak bermain di luar rumah ketika siang. Tapi anak itu tetap saja nekat.
Kondisi Alex yang tidak tahan dengan paparan sinar matahari secara langsung membuat Syila semakin khawatir. Dia tahu betapa pentingnya menjaga kesehatan anaknya. Pada malam hari, Syila memperbolehkan Alex pergi bermain sebebas mungkin. Dia ingin Alex merasakan kebebasan dan kebahagiaan yang layak dia dapatkan.
Namun, jika di siang hari yang ditakutkan Syila terjadi, dia merasa bersalah. Dia berpikir bahwa dia harus lebih ketat dalam mengatur aturan. Tapi sekarang, dia hanya ingin melihat Alex sadar dan sehat kembali.
"Alex," Syila menutup mata. Berharap kondisi Alex tidak seburuk apa yang dia khawatirkan. "Semoga kamu baik-baik aja"
Dokter akhirnya keluar dari ruangan periksa. Wajahnya serius, dan dia menghampiri Syila.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOON CHILD
Teen FictionViona dan Alex, dua jiwa yang bertemu di taman yang penuh keajaiban. Pertemuan mereka adalah seperti dua dunia yang berbeda bersatu dalam satu momen. Viona, seorang desainer muda yang terjebak dalam rutinitas kota, menemukan kehangatan dan kepolosan...