5. Maaf

412 42 12
                                    

Sumpah demi apapun. Sunghoon sama sekali tak bermaksud mengatakan hal itu pada Jake. Refleks ia menutup mulutnya karena sadar akan apa yang ia ucapkan barusan.

"J-jake, gue gak maksud—"

Ibarat nasi sudah jadi bubur, perkataan Sunghoon tentu tak dapat ditarik kembali. Menyesal pun tiada gunanya jika sesuatu sudah terjadi.

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Jake bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Sunghoon.

Awalnya Sunghoon sempat mencegah, tetapi tenaga Jake terlalu kuat dan ia pun juga takut untuk memaksa Jake setelah apa yang ia ucapkan pada pemuda itu beberapa detik yang lalu.

Sunghoon mengacak-acak rambutnya. Bodoh sekali, padahal ia tahu bahwa membawa nama 'orang itu' saja sudah cukup sensitif bagi Jake. Apalagi ia menambah bumbu-bumbu yang tidak penting.

Jake pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Rumahnya memang tak ada siapa-siapa karena orang tuanya sedang bisnis di luar kota selama beberapa hari.

Perkataan Sunghoon tadi cukup mengoyak hatinya. Awalnya ia pikir Sunghoon bercanda, tapi setelah kata demi kata yang dilontarkan cowok itu membuat ia yakin—Sunghoon tak pernah seserius ini dalam hidupnya.

Padahal selama ini Jake telah mempercayai Sunghoon melebihi ia mempercayai siapapun. Sunghoon pun sudah ia anggap sebagai sahabat, dan yang ia anggap sahabat itu malah seseorang yang tanpa ia duga paling melukai perasaannya.

Berarti selama ini Sunghoon tidak pernah tulus berteman dengannya? Ia hanya kasihan saja pada Jake yang bahasa kasarnya dapat dibilang tidak normal?

Serendah itu dirinya di mata Sunghoon? Cukup luar biasa betapa lamanya Sunghoon menahan untuk tetap berteman dengan Jake selama ini.

Dikuncinya pintu kamar yang biasanya tak terkunci itu—mencegah agar tak ada seorangpun yang bisa masuk ke dalam.

Jake lantas merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Membenamkan wajahnya di bantal dan membiarkan air matanya mengalir bersama ingus yang saat ini sudah membekas di permukaan sarung bantal.

"Lo jahat banget sih, Hoon." Jake berujar lirih. Suaranya ikut redam karena wajahnya yang ia benamkan di bantal.

Sebenarnya, Sunghoon telah mengikuti Jake sedari tadi. Ia hanya bisa berdiri di depan pintu kamar pemuda itu sembari menyesali seluruh perkataan yang ia lontarkan pada Jake tadi.

"Jake, gue minta maaf."

Tentu saja tak ada tanggapan dari pemilik kamar tersebut. Terlebih lagi, sakit hati tak bisa hilang secepat itu. Yang benar saja ia langsung memaafkan Sunghoon mengingat betapa kejam perkataan cowok itu.

Sunghoon sadar, ia memang salah karena mengatakan hal itu. Dan yang lebih salah lagi, karena ia tak benar-benar bermaksud mengatakannya.

Sebenarnya apa yang ia pikirkan tak sama dengan apa yang tadi keluar dari mulutnya. Pada dasarnya otaknya saja yang tidak sinkron.

Ia sungguh tak ada masalah pada orientasi seksual seseorang. Menurutnya, perasaan suka tak dapat diatur untuk diberikan kepada siapa.

Sunghoon hanya merasa tak senang karena Jake membicarakan Heeseung—mantan pacar sahabatnya itu. Karena setahu Sunghoon, dulu keduanya putus juga dalam keadaan yang kurang baik.

Makanya ia cukup kaget ketika Jake kembali mengungkit nama yang sudah lama sekali tak ia dengar. Bukannya wajar Sunghoon bertanya apakah mereka balikan lagi?

Sudah cukup lama—bahkan semenjak masuk SMA, Jake sama sekali tak pernah terdengar membicarakan Heeseung.

Mereka memang berpacaran ketika SMP—setelah keduanya berpisah karena perbedaan sekolah, Jake pun tak pernah mau lagi membicarakan hal tersebut. Sunghoon juga merasa tak perlu membicarakannya karena Jake tak pernah mengungkitnya.

Sunghoon kesal pada Heeseung.

Heeseung yang memanfaatkan temannya. Heeseung yang meninggalkan temannya. Heeseung yang menyakiti temannya.

Yang Sunghoon tahu adalah semua tentang Heeseung hanyalah rasa sakit bagi Jake.

Hubungan mereka memang sudah seharusnya berakhir. Bukan karena ia cemburu, tapi memang karena hubungan tersebut tak layak untuk dipertahankan.

Bahkan, untuk dinamakan sebuah hubungan saja menurutnya tidak layak.

Heeseung hanyalah benalu di kehidupan Jake—dan Sunghoon adalah pahlawan yang selalu sigap menyingkirkan benalu tersebut agar tak hinggap di inangnya.

Waktu itu mereka belum terlalu dewasa untuk memikirkan hal yang benar atau salah. Dan terlalu lama juga bagi Jake sebelum akhirnya ia memutuskan hubungan tersebut.

Ketika Jake terpuruk, Sunghoon selalu berada di samping lelaki itu untuk menenangkannya. Memberikannya ruang yang nyaman agar Jake merasa leluasa untuk berbicara atau berkeluh kesah tentang hari-harinya.

Seperti itulah hubungan yang dimiliki Jake dan Sunghoon selama ini—dan hubungan itu tak ada siapapun yang dapat menggantikannya.

Jika dibilang Jake beruntung karena Sunghoon mau berteman dengannya, itu salah besar. Karena bagi Sunghoon, ialah yang merasa beruntung karena Jake mau menerimanya sebagai dirinya—sebagai Park Sunghoon yang asli.

Ia tak bisa membiarkan Jake terluka, walau ia sendiri yang terkadang membuat luka itu. Sunghoon sadar, bahwa masih banyak perkataan atau perbuatan dirinya yang menyakiti perasaan Jake.

Dan betapa baiknya Jake karena ia hanya menganggap semua itu seperti angin lalu. Jake tak terlalu memusingkan apa yang dilakukan oleh Sunghoon. Jadi, seburuk apapun perkataan atau perbuatan yang dilakukan cowok itu—Jake akan selalu memaafkannya.

Namun sekarang, Sunghoon merasa pasti kini Jake benar-benar sakit hati padanya. Jake bukanlah tipe yang suka mendiamkan orang lain ketika marah—ia pasti akan secara langsung meluapkan emosinya entah apapun itu agar orang lain tahu reaksinya.

Yang bisa dilakukan Sunghoon kini hanyalah merutuki dirinya sendiri. Ia larut dalam penyesalannya, sementara Jake hanyut dalam kesedihannya.

Jake menangis tanpa suara—dengan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Sunghoon terduduk di depan pintu kamar Jake yang berwarna cokelat. Ia memutuskan untuk menunggu sampai sahabatnya itu mau keluar dari kamarnya.

Tentu saja Jake tidak akan melakukan hal itu. Ia pun tahu bahwa ada seseorang yang setia menunggunya di luar—berharap sang empunya kamar keluar dari singgasananya. Sayangnya, ia tak peduli lagi.

Menit demi menit berlalu, tak terasa waktu telah berjalan cukup lama. Sunghoon tertidur di depan kamar Jake menunggu orang yang diharapkannya tersebut untuk membukakan pintu.

Sunghoon pun bangun dari tidurnya dan melihat sekeliling. "Jake?" Ia mengetuk pintu kamar di depannya, namun tetap tak ada jawaban.

Mungkin Jake masih tidur.

Sunghoon pun merenggangkan badan sebelum akhirnya ia memutuskan turun ke bawah dan menuju ruang tamu.

Diambilnya secarik kertas dan sebuah pena yang entah dari mana asalnya ada di ruang tamu tersebut.

Ia menulis beberapa kata dalam kertas tersebut—setelahnya menempelkannya kembali di meja ruang tamu tempat di mana ia dan Jake makan nasi goreng bersama. Ia sampai lupa untuk membersihkan sisa makanan mereka tadi malam.

Dalam goresan tinta yang penuh kehati-hatian tersebut, tercantum sebuah ketulusan dari seseorang yang berharap agar suratnya itu dibaca.

Sunghoon membereskan ruang tamu dan menyimpan makanan tadi malam di dalam rak makan yang ada di dapur.

Setelahnya, ia memutuskan untuk pulang dengan meninggalkan secarik kertas yang ditempelkannya tadi di atas meja ruang tamu.

From: Sunghoonie

I'm sorry. Will you forgive me?

•••

Jangan lupa vote & komen ♡

𝐃𝐄𝐍𝐈𝐀𝐋 - 𝘚𝘶𝘯𝘨𝘫𝘢𝘬𝘦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang