Waktu terus berjalan dengan kejam dan teganya menelantarkan aku, adikku, dan kakakku dalam kesengsaraan. Kami lelah. Kami bertiga sudah sangat lelah. Kami sudah tidak sanggup jika harus selalu bertahan, menjerit, dan mendesis dalam kemiskinan. Kami harus keluar dari siklus mengerikan ini. Kami tidak bisa terus seperti ini!
"Kak? Kakak dimana?"
Oh tidak, itu Ella. Ella tidak boleh melihat aku menangis seperti inoi. 'Ayo Freya, Ayo. Jangan menang- srrrrrrrkkkkkkkkkk!
"Kak? Kak Freya kenapa nangis?"
'tuhan, apakah kau benar-benar tega membiarkan suara lembut itu merintih?' benakku, lalu dengan lembut datang menghampiri Ella yang baru saja masuk ke dalam kamarku, dan langsung berjongkok di hadapannya untuk mencoba menenangkan adik bungsu ku ini, "gapapa Ella, kakak gapapa."
"Kak Freya benaran ga papa?" Tanyanya mengusap air mata yang entah mengapa tidak bisa bekerja sama ini.
"Iya Ella, kakak beneran ga papa." Balasku lemah lembut memainkan gemas pipi gembul Ella yang dimana itu ternyata berhasil memunculkan sebuah senyuman di wajah Ella.
Aku tahu kalau Ella mendatangi aku karena dirinya mempunyai maksud tersendiri. Aku tahu betul sifat manja Ella. Aku tahu betul kalau Ella menginginkan sesuatu.
"Ella mau apa?"
"Kak, Ella mau main ayunan." Pinta Ella dengan nada yang begitu memohon membuat hati kecil ini terenyuh ketika mendengarnya. Hei, aku seorang kakak! Bagaimana aku tidak terenyuh!
"Ella mau main ayunan? Tapi kalau nanti kita di usir gimana?" Tanya ku menatap dalam mata Ella.
"Tapi Ella mau main ayunan kak." Rengek Ella.
Tidak bisa. Ella tahu betul kelemahan kedua kakaknya. Ella mempunyai senjata yang secara mutlak itu ampuh terhadap diriku dan kak Gita. Entah Ella menyadari kalau rengekan dan tangisannya adalah kelemahan kedua kakaknya atau tidak, tapi Ella yang manja pasti selalu mengeluarkan senjata mutakhir itu ketika berhadapan dengan aku dan kak Gita.
"Yaudah ayok. Tapi Ella jangan berisik ya nanti kalau kita main ayunan." Pintaku kepada Ella yang jelas langsung di setujui oleh Ella.
Berjalan dengan bergandengan tangan, aku dan Ella saat ini tengah berada di bahu jalan sembari menyusuri kejamnya jantung ibukota. Tujuan aku dan Ella saat ini adalah sebuah taman kanak-kanak yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah kami. Pakaian lusuh dengan rambut kusut tidak tertata ternyata menjadi hiburan untuk para kaum menengah ke atas. Lihat. Mereka menunjuk kami. Menjadikan kami sebagai patokan dalam perbandingan ketimpangan sosial yang ada.
"Kenapa mereka nunjuk ke arah kita kak?" Tanya Ella polos dengan tatapan penuh dengan hasrat ingin tahu.
"Mereka penggemar kita la." Balas ku berusaha membuat Ella bahagia.
"Penggemar itu, apa?"
Satu hal yang aku lupa adalah, usia Ella masih 7 tahun. Walaupun memang Ella sudah pintar dalam hal baca tulis, tapi masih banyak hal yang belum di mengerti olehnya. Jadi, wajar saja jika Ella bertanya.
"Penggemar itu orang yang suka dengan kita." Jelas diri ini menahan rasa sakit hati yang tidak mungkin aku tunjukkan kepada Ella.
"Heum Ella ngerti. Tadi apa kak namanya? Penggemar kan ya?" Respon Ella yang masih menatap ku tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya.
"Iya la, itu penggemar kita."
Setelah aku rasa Ella sudah mendapatkan jawaban yang dia inginkan, aku yang saat itu sudah tidak tahan dengan tatapan belas kasihan orang-orang, dengan tanpa memberikan bantuan sama sekali akhirnya memilih untuk berjongkok di depan Ella.
KAMU SEDANG MEMBACA
Die, Or Die (Tamat) ✅
Fanfiction"Lalu, sebenarnya apa tujuan dari kehidupan seorang manusia?" "Semua manusia hidup dengan keinginan yang berbeda-beda. Namun, sejatinya tujuan kehidupan manusia hanya untuk mati."