VII. THANKS TO SIERRA

88 10 1
                                    

Hari sudah semakin sore, De Cafe, cafe tempatnya menunggu Lily sejak tadi juga sudah hampir tutup. Bahkan Sierra sejak tadi hanya memainkan ponselnya dengan memainkan wifi yang ada di cafe tersebut.

"Kenapa lama sekali?" Sierra mendengus kesal.
"Apa Lily lupa, lalu ia pulang begitu saja? Oh! Atau jangan-jangan..."

Sierra langsung melangkah pergi keluar dari cafe tersebut.

Sejak tadi Sierra memang tidak mencurigai Lily, sebab ia terlalu nyaman berada di cafe favoritnya itu, apalagi sambil menikmati makan siang. Tapi, setelah ia pikir-pikir, Lily terlalu lama berada di toilet.

Saat Sierra hendak menyeberang ke seolah, ia tiba-tiba melihat Harry yang sedang mengayuh sepedanya ke arah lain. Sierra sempat bertanya-tanya kenapa Harry masih berada di sekolah, padahal jam pulang sekolah sudah hampir 1 jam yang lalu. Tapi pertanyaan itu seketika sirna saat ia baru ingat kalau dirinya dan Lily belum sempat bertukar nomor handphone.
'Dasar bodoh!' Umpatnya dalam hati.

Bagaimana tidak kesal kalau kini Sierra baru sadar ia akan kelelahan jika harus menyusuri sepanjang koridor untuk menjemput Lily. Ia terlalu malas untuk berjalan lagi.
***
Di lain tempat, Lily sudah menyerah berteriak sedari tadi. Ia lelah menangis, sebab tidak satu pun orang yang merespon teriakannya. Entahlah, mungkin sudah tidak ada orang lagi?

Lily hanya berdo'a kepada Tuhan, agar ada seseorang yang membantunya. Yeah, meskipun mustahil.
Tapi sejujurnya, jika dibandingkan dengan rasa takutnya sekarang, Lily sebenarnya lebih takut akan keadaan ibunya yang mencarinya. Apalagi semenjak ayahnya meninggal beberapa hari yang lalu, membuat Lily tak henti-hentinya berpikir, pasti ibunya sudah cemas menantinya di rumah sendirian.

Lily belum sempat meminta izin ibunya, karena tadi ia pikir ia bisa meminta bantuan Sierra untuk menghubungi ibunya jika ia sudah sampai di rumah Sierra, sebab ia lupa tak membawa ponselnya.

Entahlah, mungkin ini adalah hari sialnya. Ia juga tak habis pikir kenapa ia bisa melupakan ponselnya begitu saja.

Jika berbicara tentang ayahnya, James Collins, Lily masih sangat terpukul atas kepergian ayahnya. Bagaimana tidak, Lily yang notabene anak tunggal pasti sangat dekat dengan ayahnya.

Mengingat ayahnya meninggal secara tiba-tiba, karena sakit jantung, membuat hati Lily semakin teriris.

Lily sempat kecewa dengan ibunya yang tidak memberi tahunya jika ayahnya sedang kritis di rumah sakit. Tapi ibunya juga memiliki alasan jika ibunya tak mau mengganggu konsentrasi putrinya di sekolah. Sehingga ia memutuskan untuk menunggu Lily pulang di rumah sakit. Tapi, takdir berkata lain, saat Lily pulang pada saat itu, Tuhan ternyata lebih menyayangi ayahnya.

Sampai kapanpun ia tidak akan pernah siap kehilangan orang-orang yang dicintainya. Tapi, seiring bertambahnya usia, Lily sadar kalau tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua seakan seperti, maju, maju, dan maju, sebab waktu pasti akan berganti menjadi esok, siang akan berganti menjadi malam, dan usia juga akan berganti menjadi tua. Intinya, semua tidak ada yang mengalami kemunduran. Kehidupan harus menatap esok. Bagaimana kita bisa menghadapi hari esok agar kita menjadi lebih baik untuk lebih maju.

Lily jadi merindukan ayahnya. Lily menutup matanya, menghayati setiap momen yang ia lakukan bersama ayahnya. Sebab, kata ibunya, jika ia merinduka ayahnya, ia hanya cukup menutup mata sambil menghayatinya. Menurut Lily saran itu boleh juga, sebab ia bisa merasakan jika ayahnya berada di sampingnya.

Namun entah mengapa, dari sekian banyak momen-momen indah bersama ayahnya, pikiran Lily tiba-tiba menjatuhkan pilihannya pada momen dimana ayahnya meminta Lily untuk selalu mengingat nasehatnya.

SUDDENLY OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang