"Kalau begitu, kecuplah aku."
Sang pangeran mengecupnya, tetapi seketika pangeran itu lenyap.
Putri tersebut tak lain dan tak bukan adalah putri yang menanti kedatangan serta kecupan seorang pangeran tampan, gagah, juga berani yang akan mengakhiri tidur panjangnya. Sehingga, alih-alih terjebak di nyenyak berangan, dirinya terbangun dan bisa mewujudkannya, menjadi sebuah kenyataan. Dialah penggemar cerita Aurora si Putri Tidur semasa kecil. Jawsoen, nama si dia, dan secara spontan, kamu pun pasti bertanya, "Jasun? Jawa-Sunda?"
Mungkin, namanya terdengar tak gaul dan ndeso. Tetapi sesungguhnya, Jawsoen adalah gadis abad 21, abad yang tak lagi zaman kecupan pangeran, sebab ada teknologi bernama alarm ponsel pintar atau mungkin... pengeras suara musik dari tetangga sebelah rumah yang hajatan.
Suara Raja Dangdut yang merdu membawanya keluar dari bunga tidur, kembali kepada kenyataan bahwa Jawsoen bukanlah seorang putri raja, tetapi hanyalah putri dari sepasang suami istri Jawa-Sunda yang bertemu di perantauan kemudian saling jatuh hati dan akhirnya melakukan amalgamasi, sembari berterima kasih kepada Mohammad Tabrani, sang penggagas bahasa pemersatu Indonesia, yang menyatukan komunikasi mereka. Ironi bahwa buah hati dari pasangan antaretnis itu justru tak bisa ber-cakap satupun bahasa daerah orangtuanya, kecuali dua kata ini, "Jancok! Asu!"
Sudah Jumat lagi, keluhnya dalam hati karena itulah saatnya bagi Jawsoen untuk bekerja sampai bertemu lagi dengan Kamis, hari liburnya, sebab dia bukan pekerja kantoran. Dan seperti lagu anak-anak bangun tidur, ia terus mandi, tak lupa menggosok gigi, dan bersiap mencari rezeki. Itu-itu terus, sampai mampus.
Jawsoen gadis biasa-biasa saja, bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa. Klise, tapi apakah ia akan bertemu bos mafia? Ataukah ada lelaki tampan dan kaya raya yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya, kemudian dalam semalam, mengubah nasib hidupnya? Kenyataan yang ada tak seindah kisah Cinderella di negeri dongeng, dan lagi pula, ia tak secantik putri bergaun biru itu.
Kulitnya bukan putih tapi kuning langsat, rambutnya tak lurus dan tak pula keriting. Ia bersyukur dianugerahi tinggi badan yang pas seratus enam puluh sentimeter karena itu batas minimum untuk menjadi kasir di minimarket, tempatnya bekerja sekarang.
"Selamat datang di Indomarket, selamat berbelanja!" sapanya sembari tersenyum secara refleks ketika mendengar suara bel berbunyi. Rupanya pelanggan pertama pagi ini ialah seorang ibu bergamis dengan deretan gelang di kedua tangannya.
Dari balik kaca minimarket yang dilap bersih sampai tak meninggalkan jejak sidik jari, terlihat orang-orang berlalu-lalang. Sebenarnya apa yang mereka kejar? Pertanyaan itu hinggap di pikirannya. Jawsoen memandang semesta yang bergerak, sementara dirinya, seakan-akan terjebak dan tak kuasa lari dari takdir. Ia lahir dan dibesarkan di pinggir kota, masih setia di sini sampai kini di kepala dua. Bosan? Masihkah perlu ditanya?
Kadang-kadang, Jawsoen masih memikirkannya, bagaimana bisa ia berakhir di sini, di dalam sebuah kenyataan yang jauh dari harapan? Ke mana perginya Jawsoen kecil yang bercita-cita menjadi seorang dokter dan menyelamatkan nyawa orang lain? Namun, sesaat kemudian, ia tersenyum getir, menyadari bahwa dirinya sendiri juga memprihatinkan. Untuknya, yang terpenting sekarang adalah bisa bertahan hidup di dunia yang sebentar lagi akan kiamat ini.
Semakin bertumbuh dan umurnya bertambah, tepatnya sejak Jawsoen menginjak delapan belas tahun, saat tubuhnya tak lagi disebut sebagai anak-anak tetapi umurnya terlalu muda untuk dianggap dewasa, saat itulah ia mengerti bahwa hidup ini sesungguhnya adalah tipuan.
Motivator berkata uang bukanlah segalanya. Namun, kata-kata motivasi itu kini hanyalah asbun baginya—masyarakat menengah ke bawah yang bertemu langsung dengan kenyataan bahwa segalanya membutuhkan uang, sebab apa-apa serba mahal. Itu yang pertama. Kedua dan ketiganya adalah tahta dan agama. Persis motif dari para penjelajah samudera, 3G: Gold, Glory, Gospel (Harta, Tahta, Agama), tiga hal penyelamat, tapi juga yang paling menghancurkan hubungan antarmanusia. Lihatlah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jika
Ficção HistóricaEntah zaman kembali mundur ke masa penjelajahan samudera atau manusia yang justru menjadi terbelakang, di abad 21 ini, semua orang masih tergila-gila 3G: Gold, Glory, Gospel (Harta, Tahta, Agama)-motif bangsa Eropa datang ke Indonesia. Tiga hal yang...