Larasita Maira pernah hampir kehilangan nyawa karena memulai pernikahan pertamanya dengan cara yang salah. Kejadian itu cukup mengguncang batinnya, yang kemudian membuatnya sadar dan berusaha memperbaiki diri.
Waktu berlalu, dan Laras kembali dihada...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dirga pergi meninggalkan mendung di wajah Tsabitha. Perempuan itu tak memiliki semangat untuk melakukan apapun. Ketakutan seakan mengiringi setiap langkahnya hari itu. Setelah seharian disiksa oleh pikiran tak menentu tentang Dirga, sorenya Tsabitha meninggalkan kantornya lebih awal. Namun, hal itu tidak membuatnya terbebas dari kemacetan jalan menuju kantor pusat tempat Dirga bekerja di bilangan Jakarta Selatan.
Sepanjang perjalanan dalam taksi yang ditumpanginya, Tsabitha terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang hal yang Dirga tunda untuk sampaikan tadi pagi. Belum apa-apa, hatinya teriris sedih mengingat setiap merasakan kesenangan bersama Dirga harus ia bayar dengan kenyataan baru yang membuatnya kecewa.
Taksi yang ditumpanginya berhenti di lobi utama sebuah Mall yang lokasinya menjadi satu dengan kantor pusat tempat Dirga bekerja. Sebuah restoran keluarga yang tampak sepi, Tsabitha pilih untuk menunggu Dirga. Tidak lupa juga ia mengabari Dirga yang jam kerjanya usai tidak lama lagi.
Tsabitha menanti kedatangan Dirga di meja paling ujung dari empat meja yang berderet sejajar dengan arah pintu masuk. Segelas jus sirsak menemaninya di meja, sementara jus jambu untuk Dirga sudah ia pesan dan akan dibuatkan nanti saat lelaki itu sudah datang saja.
Dari kejauhan, terlihat Dirga melempar senyum padanya. Hari ini suaminya itu mengenakan seragam berwarna abu terang yang dipadukan dengan bawahan celana jeans berwarna hitam pekat. Tsabitha baru akan bernapas lega karena akhirnya Dirga datang, tetapi seorang pegawai restoran menyambut Dirga di pintu masuk dengan ramah. Entah apa yang mereka bicarakan, hingga keduanya berjalan masuk ke area khusus pegawai, dan membuat Dirga tak terlihat lagi.
Tsabitha menahan diri untuk menggurutu, dengan memilih menyeruput jus sirsak miliknya hingga tandas. Beruntung, Dirga kembali tidak lama kemudian.
"Tau nggak, Bi? Aku dikira sales. Jadi, resto ini customer di kantorku, terus tadi aku diajak diskusi untuk pengajuan diskon harga." Dirga tertawa diujung ceritanya. Lelaki itu meraih gelas jus jambunya yang baru saja datang dan meminumnya hingga tersisa separuh.
Tsabitha membatin, apakah Dirga tak mengerti bahwa situasinya saat ini tidaklah tepat untuk melaporkan hal receh seperti itu?
"Sudah pesan makan apa, Bi?" tanya Dirga.
Tsabitha menggeleng. "Belum, aku belum lapar."
"Sebenarnya aku juga. Lalu kenapa tunggu aku di sini. Aku kira kamu mau sekalian makan."
"Aku kira tempat ini cocok untuk kita bicara." Tsabitha melayangkan pandangan pada sekitar resto yang sepi. Ada satu pengunjung di sana yang mengambil tempat duduk cukup jauh dari mereka.
Dirga meminum jusnya lagi hingga habis, kemudian menyentuh tangan Tsabitha, "bukan di sini tempat yang tepat untuk bicara, Bi."
"Kenapa? Memang hal macam apa yang akan kamu sampaikan ke aku, Di?"