Bab 1

1.2K 230 61
                                    

Hinata sedang mengoleskan pemerah pipi ketika ponselnya berdering. Ia melirik layarnya dan menemukan nama Ino.

"Halo?" sapanya, lalu mengaktifkan pengeras suara sementara dia melanjutkan berdandan.

"Hinata, kau di apartemen 'kan?" balasnya dari ujung lain.

"Ya, kenapa?"

"Ada kiriman bunga untukmu. Kurir sedang mengantarnya ke sana."

"Bunga? Aku tidak memesan bunga."

"Ini dari seseorang."

"Seseorang?" ulang Hinata agak bingung. Ia berhenti sebentar untuk memerhatikan riasannya di cermin. "Siapa?"

"Menurutmu?" Ino balik bertanya.

"Ayolah, aku sedang terburu-buru. Tidak ada waktu untuk bercanda."

"Kau bisa menebak, ini dari pria tampan."

"Pria tampan?" gumam Hinata sambil tersenyum. "Apa mungkin dari .... "

"Jangan tanyakan aku, kau bisa memikirkannya sendiri." Ino menyahut bahkan sebelum Hinata selesai bicara. "Sudah ya, aku sedang sibuk. Jangan pergi dulu sebelum bungamu datang. Mungkin sepuluh menit lagi!"

"Kau pikir aku pengangguran? Aku juga sibuk." gumam Hinata sendiri karena Ino sudah memutus panggilannya begitu saja.

Siapa yang mengirim bunga saat hampir malam begini? Hinata menebak-nebak sambil menyisir rambutnya dengan jari. Meskipun sebenarnya, ia sudah memiliki satu nama di dalam benaknya.

Sebelas menit kemudian, bel apartemennya memekik. Hinata yang sudah berganti gaun merah seksi, buru-buru membuka pintu. Kurir yang mengantar pun terkejut. Ia menatap Hinata sesaat dan dalam hati mengagumi kecantikan wanita yang menerima kiriman bunganya.

"Apa tidak ada nama pengirimnya?" tanya Hinata penasaran.

Kurir itu menggeleng. "Tidak ada," katanya, lalu menyentuh topinya untuk menyembunyikan kegugupan. "Tolong tanda tangan di sebelah sini."

"Oke."

Setelah mengucapkan terima kasih, Hinata memeluk bunganya dengan perasaan senang. Ia berjalan ke dapur sambil menciumi bunga tersebut. Buket bunga mawar putih yang sangat cantik dan harum.

Ia memindahkannya ke dalam vas kaca. Tersenyum dan puas. Hinata sangat tersanjung, ingin mengaguminya berlama-lama kalau saja tidak ada acara yang harus dia hadiri malam itu.

Jadi Hinata bergegas pergi, menyambar tas dan sepatu bertumit tinggi. Setelah mengunci pintu, ia memesan taksi dan tenggelam ke dalam lift. Begitu keluar dari lobi, taksi yang ia pesan menjemputnya tepat waktu.

"Nona, kau sangat cantik."

Alis Hinata praktis terangkat saat mendengarkan pujian dari sopir taksi.

"Terima kasih." Hanya itu yang ia katakan. Karena sopir itu masih muda, Hinata merasa pujiannya seperti rayuan dan kurang sopan.

Pukul 19.30, Hinata tiba di Cheng Du.

Cheng Du adalah restoran China eksklusif, tempat di mana makan malam kali itu dipesan oleh pihak perusahaan. Sesampainya di ruangan pribadi, setidaknya sudah ada selusin orang yang berkumpul di meja besar. Sebagian mereka dari Departemen Teknis, subkontraktor, Manajer Umum dan Manajer Eksekutif. Hanya ada lima wanita di sana, salah satunya adalah Hinata.

"Maaf, saya datang terlambat." Hinata membungkuk dengan sopan. Kehadirannya di tengah riuhnya perbincangan membuat suasana menjadi hening.

"Ah, tidak masalah, bahkan makanannya belum datang," kata seorang pria. Dia sangat ramah dan mempersilakan Hinata duduk.

We Were in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang