11

582 75 3
                                    

Leonard bisanya hanya melihat Johanna memakai pewarna pucat atau merah muda. Itu benar-benar warna yang membuat Leonard muak melihatnya. Bahkan lebih baik kalau gadis itu tidak mewarnai bibirnya, itu akan lebih enak dipandang.

Tapi sekarang, Leonard sungguh harus menelaah kembali apa saja yang sudah dia lewatkan dari Johanna. Karena mereka baru tidak bertemu beberapa bulan saja. Tapi Johanna seperti kembali dengan membawa arwah orang lain. Perbedaannya terlalu terlihat. Terlalu kentara hingga terasa dibuat-buat.

Leonard curiga, Johanna melakukannya untuk menarik perhatiannya. Tapi jika memang Johanna masih mau mempertahankan, kenapa pula gadis itu menyodorkan wanita lain. Dan wanita berpenyakitan pula. Apa Johanna tidak takut kalau sampai Leonard tertular dan menyentuhnya, maka Johanna akan tertular juga. Sepertinya otak Johanna memang tidak berada di tempatnya malam itu. Dia terlalu marah karena Leonard memutuskan pertunangan? Itu bisa menjadi jawabannya.

Leonard mendengus.

Johanna yang mendengarnya hanya menatap dengan aneh. Tapi Johanna juga menemukan goresan di pipi Leonard, jelas masih baru. "Kau terluka?"

Leonard menyentuh pipinya. "Kau seharusnya tahu siapa pelakunya."

Johanna menunjuk diri. "Aku?"

Leonard memberikan pandangan muak.

Johanna kemudian mengingat saat dia melempar kertas ke arah Leonard. Itu membuatnya meringis. Gadis itu beranjak ke arah laci besar di sudut ruang tengahnya. Dia mengambil kotak obat berwarna putih di sana. Membawa kotak itu ke depan Leonard.

Pria itu sudah hampir mendengus, berpikir Johanna sengaja buru-buru mau mengobatinya untuk bisa dekat dengannya. Tapi saat Johanna hanya meletakkan kotak obat dan kembali duduk ke tempatnya, Leonard hampir melongo. Karena biasanya Johanna dulu tidak akan pernah menyiakan kesempatan bisa memepet tubuhnya ke Leonard.

"Kau tidak akan mengobatiku?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Kenapa aku harus? Kau bisa melakukannya sendiri."

"Ada di pipi. Aku tidak bisa melihatnya."

"Oh." Johanna sudah bergerak.

Senyuman manis yang disembunyikan segera terbit di bibir Leonard, Dia sudah akan menyodorkan wajahnya saat Johanna malah hanya melewatinya begitu saja. Gadis itu bergerak ke laci lagi dan kembali dengan membawa cermin bulat seukuran telapak tangan. Itu akan memudahkanmu.

"Kau—"

"Kenapa?" Johanna meletakkan tangannya di pinggang. Memandang dengan dagu terangkat tidak mengerti apalagi yang diinginkan pria di hadapannya.

Leonard menyerah. Dia bisa melakukannya sendiri. Dia sudah membuka kotak obat itu dan akan mengambil kapas saat dia mendengar suara teriakan Johanna ke arah asistennya.

"Clive, bajingan! Akan kubuat kau merasakan sakit yang dia rasakan!" seru Johanna menunjuk dengan marah.

Clive berdeham dan segera melangkah berdiri di sisi bosnya.

Sementara Isaiah yang wajahnya terluka dan bibirnya tampak sobek mendekati Johanna. "Nona, maafkan saya." Dia menunduk dalam dan tampak menyesali kekalahannya.

"Tidak masalah. Dia memang bukan tandinganmu. Dia bajingan gila." Johanna meraih kotak obat yang harusnya dipakai Leonard. Membawa kotak itu ke depannya senidri.

"Hei, aku masih memakainya," protes Leonard dengan kesal.

Johanna meliriknya dengan tajam. Pandangannya jelas bisa membunuh seribu musuh sekarang. Clive adalah milik Leonard, itu artinya salah Clive maka salah Leonard. Makanya sekarang pandangan kebencian dan kemarahan juga terarah pada Leonard.

Leonard yang diberikan pandangan seperti itu segera menunduk dengan salah tingkah. Dia menatap Clive kemudian. "Salahmu."

"Saya bersalah, Bos."

Leonard meninju kesal perut Clive. Tapi yang membuat Leonard tercengang kemudian adalah Johanna yang meminta pengawalnnya berlutut di hadapannya dan membuat wajah mereka menjadi dekat.

"Aku akan mengobatinya untukmu," ucap Johanna yang tidak tega melihat banyak luka di wajah pria yang dibelinya.

Leonard menahan tangan Johanna, menarik gadis itu agar duduk di sisinya. Pandangannya jatuh kesal pada Johanna. Karena sejak tadi, gadis itu terus mengusik batas kesabarannya. "Dia bisa melakukannya sendiri."

"Itu ada di wajah," tekan Johanna memberikan peringatan seolah dia tidak tahu saja.

"Ada kaca. Berikan kaca itu padanya. Dan kau, pakai itu." Leonard melempar kaca bulat itu ke pangkuan Isaiah

Isaiah mengambilnya tanpa banyak bicara. Isaiah memang pria paling irit dalam suara. Apa yang dikatakan majikannya maka itu yang akan dilakukannya. Selama ada yang memerintahkannya dan Johanna hanya diam maka itu artinya perintah itu disetujui Johanna. Jadi saat kaca dilempar dan Johanna hanya diam menatap Leonard, dia mengambil kaca itu dan mulai melihat lukanya, untuk tahu obat mana yang akan dia gunakan.

"Apa yang kau lakukan? Hentikan!' Johanna memberikan peringatan pada Isaiah. "Dan kau, lepaskan aku. Lukanya terlalu banyak dan terlalu parah untuk dilakukan sendiri. Dia pengawalku, jadi aku bertanggung jawab atas lukanya."

"Clive!" seru Leonard dengan nada tidak sabar.

Clive mendekat. "Ya, Bos?"

"Obati dia. Kau sudah melukainya, bukankah kau harusnya bertanggung jawab atas perbuatanmu?"

Clive ternganga. Dia menunjuk diri dan menunjuk Isaiah. "Tapi, Bos ... tapi—"

"Lakukan. Jangan banyak tapi. Sekarang."

Clive mengangguk dan akhirnya mendekat. Dia membawa lengan Isaiah dan menariknya pergi ke ruangan lain. Membawa kotak obat itu bersamanya. Mereka berada di ruang depan.

Sementara Johanna hanya mendesah menatap ke arah Leonard yang aneh. "Ada apa denganmu? Kau sakit?" tanya Johanna yang tidak biasanya Leonard menjadi tidak masuk akal.

Leonard hanya duduk dengan santai. "Hanya mengajarkan asistenku tanggung jawab. Itu akan membuat dia mengerti." Leonard mengatakannya dengan nada santai biasanya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep

Sleep With Fiance (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang