14

510 73 4
                                    

Leonard benar-benar mengeringkan rambut Johanna dengan pengering rambut, dia dapat menemukan gadis itu tidak nyaman tapi Johanna tidak mengatakan apa pun. Dia sibuk dengan makananya atau pura-pura sibuk karena tidak mau menanggapi Leonard. Sampai pria itu selesai tidak ada perbincangan di antara mereka.

Leonard meletakkan pengering rambut itu dan segera melangkah ke arah lantai atas. Dia sudah menaiki anak tangga saat Johanna mengejarnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Johanna tidak yakin.

"Ke kamar. Ingin tidur."

"Tidur di mana?"

"Kamar, Anna. Kamar. Apa kau tidak mendengar yang aku katakan?"

"Aku mendengar. Ya, kau menyebut kamar. Tapi, Leon, hanya ada satu kamar di sini. Kamar lain tidak pernah digunakan jadi berdebu dan harus dibersihkan dulu. Jadi katakan padaku, di kamar mana yang kau maksudkan?"

"Tentu saja kamarmu. Kamar mana lagi."

"Leon!" seru Johanna menghadang langkah pria itu. Kali ini dia berdiri di depan Leon dan menatap pada pria itu dengan tidak percaya. "Aku tidak mau sekamar denganmu. Aku lebih lelah denganmu jadi aku juga membutuhkan kamarku. Sebaiknya kau kembali ke mobilmu dan minta sopirmu mengantarmu pulang. Itu tidak akan memakan banyak waktu."

"Maka kau bisa tidur di sofa kalau kau memang tidak mau tidur denganku. Dan aku sedang tidak ingin naik mobil malam-malam begini." Leonard melewati Johanna begitu sata yang terdiam menatap tidak percaya padanya.

Ini pertama kalinya Leonard benar-benar tidak masuk akal dengan sikapnya. Dulu dia akan melakukan segala cara untuk menghindari Johanna. Tapi sekarang, apa sebenarnya yang tengah dilakukan pria itu?

Johanna coba mencari jawabannya, tapi dia tidak menemukan satu pun. Itu membuat Johanna akhirnya melangkah menaiki anak tangga. Tidak memiliki pilihan saat dia sendiri memang begitu lelah karena penerbangannya. Lalu datang-datang harus berurusan dengan banyak dokumen pengadilan. Dia bahkan belum membicarakan soal tuntutannya dengan keparat itu, dan sekarang mereka harus berbagi kamar yang sama. Menyebalkan sekali.

Tiba di kamarnya dan masuk dengan tatapan mencari, dia malah menemukan Leonard sedang ada di balkon. Pria itu tidak lagi mengenakan bagian luar pakaiannya, malah dia juga sepertinya membuka kancing kemejanya, seolah ingin dingin mendekapnya.

Johanna ingat perkataan Hattie. Apa pria itu sekarang sedang memikirkan wanita yang tidak berguna yang sudah mati itu? Membayangkan itu sebagai jawabannya, Johanna merasa meradang di dadanya.

Tanpa mau melihatnya dia segera meraih selimut di ranjangnya dan menariknya. Membawa benda itu ke balkon dan melemparkannya ke tubuh Leonard.

Leondard segera menatap Johanna dengan bingung. "Apa yang kau lakukan?"

"Tentu saja membantumu agar tidak menjadi manusia es. Apa yang kau lakukan?" Johanna melemparkan tanya yang sama.

Leonard menunjukkan sebatang rokok yang ada di antara jarinya. "Kau tidak bisa mencium aroma nikotin, jadi aku merokok di sini."

Johanna tercengang. "Kau merokok? Sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu?"

"Aku sering tidak bisa tidur. Rokok membantumu."

"Apa karena wanita itu? Kau terus memikirkannya sampai tidak bisa tidur cepat?"

"Wanita? Siapa?"

Johanna ingin menyebut namanya. Tapi tidak mau Leonard teringat. Jadi dia hanya menggelengkan kepalanya dan segera masuk kembali ke kamar. Tidur di ranjang tanpa selimut itu, Johanna meraih ponselnya dan mengatur alarmnya. Dia sudah akan lelap tapi ingat kalau Leonard juga akan ada di ranjang yang sama dengannya. Akhirnya dengan cepat Johanna merapikan guling dan menaruhnya di tengah. Sebagai pembatasnya dengan sosok yang sekarang sudah masuk dan melihat apa yang dilakukannya.

"Masih khawatir aku ada penyakit?" tanya Leonard.

"Lebih khawatir karena kau bisa saja menjadi binatang buas di hadapan gadis cantik sepertiku. Jadi, ingat." Johanna berbalik memandang pada Leonard. "Jangan melewati batas dan jangan sampai kau sengaja menyentuhku. Kalau kau melakukannya, aku tidak segan-segan menendangmu. Mengerti?"

Wajah Leonard penuh guyon. Tapi Johanna mengabaikannya, gadis itu tidur terlentang dan mulai menatap langit-langit kamarnya. Dia tampak akan terpejam saat dia merasakan benda hangat itu tersampir di tubuhnya.

Johanna memandang pada Leonard yang sedang merapikan selimut untuknya. "Kau bisa memakainya. Aku tidak masalah. Di kamar tidak terlalu dingin."

"Tidak dingin bagi tubuhmu adalah dingin yang panjang. Aku tahu kau tidak tahan dingin. Jadi kenakan selimut itu dan tidurlah dengan nyenyak."

"Kau yakin?"

Leonard mengangguk sama sekali tidak memiliki keraguan. Lagian dia tidak membutuhkan selimut. Dia bisa menghangatkan dirinya sendiri. Johanna lebih membutuhkannya. Dan terbukti, saat Leonar sudah selesai mandi dan kembali ke kamar, dia menemukan gadis itu menggelung diri dengan selimut tebalnya. Bahkan ada senyuman yang begitu manis terlihat di bibir manis merekah itu.

Leonard mendekat, dia berbaring di sisi Johanna dan tanpa kuasa menahan diri, menyentuh pipi lembut itu. "Apa yang sudah kulakukan hingga melewatkan segalanya?" tanya Leonard dengan tidak mengerti. Seolah dia baru saja terbangun dari mimpi panjangnya dan menyadari ada gadis seindah ini yang selama ini selalu ada di sisinya. Butuh kekejian seorang Johanna untuk menyadarinya. Butuh kepergian gadis itu untuk tahu kalau dia membutuhkannya, lebih dari yang dia dugakan.

Dan butuh perubahan yang membuat Leonard yakin kalau cinta yang lama di hatinya kini mekar kembali. Johanna, cinta pertamanya. Gadis yang selalu mendatangkan kebahagiaan untuknya. Dulu Johanna tangguh dan bersikap blak-blakan, itu yang membuat Leonard sangat menyukainya.

Tapi entah apa yang merubah gadis itu hingga menjadi lemah dan menyedihkan. Membawa Leonard mengingat wanita yang memanfaatkannya itu. Segala tingkah laku wanita yang sudah mati malah ada di diri Johanna. Itu memberikan perasaan padam pada Leonard. Rasanya begitu tidak menyenangkan. Bahkan mengingatnya pun tidak mendatangkan kebahagiaan.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Sleep With Fiance (RAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang