14 › Mi Casa, Tu Casa.

159 22 4
                                    

"Bubu masih di rumah sakit ya, Yah?"

Saskala melajukan mobilnya setelah Allen memakai seatbelt, "Ya, ini ayah mau susul.. adek mau ikut?"

"Kalau aku ikut, berarti ayah langsung ke rumah sakit?" Tanya Allen menyandarkan punggungnya pada sandaran jok, "Gak deh, maaf ngerepotin ayah harus nganter aku pulang terus balik ke rumah sakit."

"Gak apa-apa, ayah sama bubu gak maksa adek buat jenguk Reilo sekarang."

Allen menghela nafas samar, "Ayah sama bubu gak marah kan kalau sekarang aku gak ketemu Reilo?"

"Buat apa marah, adek? It's okay, ayah dan bubu tahu kalau adek gak tegaan lihat seseorang dalam kondisi sakit apalagi dipakaikan alat medis," Jelas Saskala yang jelas mengerti putra tunggalnya.

"Hum, titip salam buat Reilo." Ujar Allen seadanya diangguki Saskala, "Ayah.. udah bicara sama bubu tentang aku berangkat dan pulang sendiri?"

Saskala mengangguk, "Seperti biasa.. bubu belum membolehkan."

"Lah.. ayah, aku udah besar lho.. terus ada waktunya juga ayah pasti capek, pulang ngantor jemput aku.. belum lagi kalau aku ada jadwal dadakan ekskul atau kerja kelompok." Allen tuh mau mandiri, "Kalau aku bicara sendiri ke bubu, kemungkinan dikasih izin gak ya, Yah?"

"Coba aja, adek." Saskala berdehem singkat, "Adek jelasin langsung ke bubu tentang alasan adek kenapa mau pergi sendiri."

"Iya, nanti malam aku jelasin."

"Jelasinnya pelan-pelan ya, jangan maksa dan kalau bubu udah bilang gak.. ya berarti gak boleh." Saskala memberikan wejangan, "Nanti ayah bantuin bicara."

"Ayah harus mihak aku ya?"

Saskala tertawa renyah, "Waduh.. kalau itu gak bisa sih, adek."

"Pasti selalu gitu," Allen mendelik, "Ayah jarang mihak aku kalau aku bicara sama bubu."

"Ayah selalu netral..?"

Allen mendengus geli mendengar sang ayah membela diri, "Iya netral tapi endingnya selalu bilang udah.. dengar apa kata bubu, memangnya itu netral ya?"

"Ya gimana ya, adek? Daripada bubu mendiamkan ayah."

Mi Casa, Tu Casa

"Milan, kamu habis dari mana saja? Kenapa semalam tidak pulang?"

Sulung Adhiyaksa itu menghentikan langkahnya, sempat terkejut karena tidak menyangka jika siang ini sang ibun berada di rumahㅡLantas ia yang hendak menaiki tangga pun berbalik ke arah dapur, melihat sosok ibun; Nazam melangkah keluar dari area dapur dan berhenti di hadapan Milan dengan jarak satu meter.

"Menginap di rumah siapa?" Selidik Nazam pada putra sulungnya, "Ibun telpon kamu berulang kali sejak pagi, kenapa tidak diangkat?"

"Handphoneku mati, lupa bawa chargerㅡ"

"Lalu, kenapa tidak pinjam teman-temanmu itu? Kamu kan bisa handphone temanmu untuk menghubungi rumah? Atau pulang sebentar, pamitㅡ"

"Charger temanku beda, aku lupa nomor rumah.. lagipula aku sudah menghubungi Juang sebelum handphoneku mati, ibun tidak tanya pada Juang? Juang tidak berbicara pada ibun tentang aku?" Balas Milan cepat, ia berbalik bertanya karena tidak ingin mendengar omelan sang ibun.

Nazam melipat kedua tangannya di depan dada sembari menatap lekat putra sulungnya, "Juang sudah bilang pada ibun kalau kamu menginap, tapi, apa kamu tidak bisa menghubungi ibun atau papa untuk meminta izin?"

"Izin langsung pada ibun atau papa?" Milan tertawa sumbang, "Aku pernah berkali-kali menghubungi kalian tapi hasilnya apa? Kalian tidak menjawab bahkan menolak panggilan, setiap aku mengirimkan pesan pun pasti hanya kalian baca saja atau terkadang kalian terlambat membalas.. membuatku menunda pekerjaan." Keluhnya mengungkapkan uneg-unegnya sejauh ini, "Sudahlah, Bun.. aku lelah, jangan banyak mempertanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah ibun ketahui jawabannya."

Casa, Atlanata (onhold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang