01.

2.2K 243 11
                                    










"Mayor Pim!" Seorang gadis mendekati perkapalan tempat dimana angkatan laut berdiam diri. Ini waktunya makan siang, dan Melati, adiknya datang dengan buntalan yang ia duga sebagai makanan.

"Melati." Laki-laki itu tersenyum melihat Melati berlari kearahnya tertatih-tatih sembari membawa buntalan makanan.

"Ibu suruh aku antar makanan!" kata Melati, sembari mendorong buntalan itu kepadanya. "Suruh ibu berhenti nyuruh aku ngantar makanan dong, capek tau!" keluhnya.

"Tidak mau makan dulu? Abang bakal suruh orang siapin tempat-"

"Ga perlu, aku mau uang." sanggah Melati.

Pim tersenyum mendengar ucapan adiknya itu. Dia merogoh sakunya seraya menyodorkan beberapa lembar uang terhadap sang adik, yang tersenyum manis dan segera saja berlari dengan uang ditangannya. Dia bahkan tidak mengucapkan terimakasih. Terkadang Pim merasa seperti dompet untuk adiknya saja.

"Mayor." seorang prajurit menghampirinya seusai percakapannya dengan adiknya itu.

"Kenapa?" tanya Pim. Wajahnya yang tadi melembut dan tampak manis berubah keras saat melihat ajudannya datang dan membisikkan sesuatu kepadanya.

"Mayor Fedderod dan pasukan unitnya datang kemari. Sepertinya mereka ingin meminta bantuan."

"Mayor Fedderod?" tanya Pim, dengan alis berkedut-kedut. Dia pernah bertemu dengan Fedderod von Hoëvell. Mayor muda yang dipilih Dan dikirim langsung dari Netherlands sana karena kemampuannya. Dan tentu saja koneksinya. Pim tidak tahu dengan siapa koneksi pria itu, tapi di kemiliteran sini, bahkan koneksipun tidak berarti apa-apa jika tanpa kemampuan. Pim tidak pernah melawan pria itu secara langsung, tapi yang jelas, ia tahu bahwa Fedderod adalah pria yang penuh dengan harga diri dan martabat bangsawan. Pim masih sangat ingat saat dimana mereka bertemu dalam pelantikannya menjadi mayor angkatan laut. Dari ekspresinya, terlihat jelas kalau dia tidak terlalu menyukai Pim.

"Benar, pak. Dia menunggu anda di ruang pertemuan." Kata ajudan itu. Karena mereka datang saat Pim sedang berenang jauh ketengah laut, dia terpaksa menunggu pria itu kembali. Dan itu sudah hampir dua jam. Dia khawatir akan terjadi pertengkaran karena Mayor Fedderod sudah menunggu terlalu lama.

"Baiklah. Mari kita pergi." Pim berjalan santai dengan membawa buntalan berisi makanan dipelukannya. Sial, padahal tadinya dia ingin berniat makan masakan ibunya begitu dikantor. Tsk.

Ngomong-ngomong,

Apa kira-kira yang membawa pria itu kemari?


***

"Beraninya pribumi sepertimu membuat mayor menunggu lama!" Tampaknya pria yang kerap menjadi ajudan dari Fedderod tampak murka. Tentu saja, dari apa yang Pim dengar saat perjalanan kemari, mereka menunggu lama karena Pim sedang pergi untuk berenang saat mereka datang, dan menemui adiknya pula.

Pim duduk dihadapan Fedderod dengan helaan nafas panjang, "Kudengar kalian kemari karena membutuhkan bantuanku. Bukankah nada bicara kalian terlalu tinggi untuk orang yang datang minta tolong?"

"APA?!"

"Cukup, Igor." Fedderod menengahi dengan ekspresi lelah. "Aku akan memotong basa-basinya, mayor Pimaharadja."

Mengejutkan. Pim tidak menyangka orang itu akan mengingat nama lengkapnya. Meski ekspresinya terlampau dingin untuk disebut jika dia ingin meminta tolong dengan penuh persahabatan. "Baiklah, tolong bicara."

1901, The Majoors.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang