20. Cokelat

720 31 5
                                        

Typo bertebaran ~

***

"Adek, kenapa diem aja?" tanya Arsen.

Dirinya baru menyadari. Bahwa sejak pulang dari rumah sakit, Nana hanya diam sembari menunduk. Ia membisu, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya.

Semua anggota keluarga Mahendra yang berada di kamar Arsen, sontak melihat si Bungsu.

Ya, mereka tengah berkumpul bersama di kamar Arsen. Luka di kepalanya cukup besar, hingga akhirnya harus di larikan kerumah sakit.

Kaivan dan Nana memutuskan untuk izin pulang, sementara Alvero memang sedang tidak ada kelas. Dan Leon serta Sean memutuskan pulang lebih awal.

Bukannya menjawab pertanyaan Arsen, Nana malah semakin menundukkan kepalanya.

Rasa bersalah yang teramat besar kepada sang Abang, Nana rasakan lagi.

Ia memilin-milin tangannya, dengan perasaan gelisah, serta isi kepala yang begitu berisik.

Sesak, itu yang hanya bisa Nana rasakan.

Dengan gerakan tiba-tiba, Sean menarik Nana yang berdiri kedalam pelukannya.

Hal itu berhasil membuat Nana menangis. Airmatanya yang dia tahan sendari tadi, ia tumpahkan begitu saja dalam pelukan sang Papa.

Nana mengeratkan pelukannya, ia menenggelamkan kepalanya dalam dada Sean.

Hening. Kamar yang tadinya berisik karena obrolan mereka, kini menjadi hening.

Sean usap-usap lembut punggung putri kecilnya, dengan sesekali ia kecup rambut halus itu.

"Kok, nangis? adek kenapa?" ucap Sean.

Tak ada jawaban, yang ada adalah Nana yang semakin mengeratkan pelukannya.

Sean melepaskan pelukannya, ia pegang pundak Nana. Lalu menatap wajah anak itu.

"Ada, apa? kamu sakit? kok, nangis?" lagi-lagi Sean memberikan pertanyaan nya.

"E—enggak, gak papa." tutur nana yang masih menangis.

Tangisan nya bahkan sudah mencapai sesegukkan.

Sean menghela nafas nya.

"Udah dong, sayang. Kamu udah nangis sampai sesegukkan gitu, loh."

"Bener kata papa. Kamu jelek kalo nangis, tau!" ujar Alvero.

Hal itu justru malah membuat Tangisan Nana semakin kuat. Sean langsung menatap Alavero tajam, dan di balas cengiran oleh Alvero.

"Kenapa nangis? adek ga mungkin nangis tanpa sebab, kan?" kini giliran Leon yang bertanya.

Nana mengusap matanya yang berair, ia menunjuk Arsen.

"Abang, hiks. Abang ga boleh sakit!" jawabnya.

Detik itu juga, semua orang yang ada di kamar Arsen. Kecuali Nana, menghela nafasnya dengan sabar masing-masing.

Nana Grizsella [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang