Linn menjatuhkan dirinya di depan cermin kamar mandinya, tangannya terus memegang wastafel di depan kepalanya itu. Detak jantungnya bergerak lebih cepat dari biasanya, dadanya bergerak naik turun dengan cepat.
"Pergi!" teriak Linn sambil menutup matanya.
Kedua tangannya bergerak menarik rambutnya dengan kasar, sekali-kali Linn meringis kesakitan. Air matanya keluar begitu saja, Linn perlahan berdiri dan menatap tubuhnya di depan cermin itu. Linn tidak peduli dengan penampilan acak-acakannya itu.
Sklera matanya terlihat menghitam, dan iris matanya berubah menjadi merah darah. Hal itu terlihat asing bagi Linn. Dia menatap ke arah cermin sambil menunjuk ke arah cermin di depannya.
"Keluar dari tubuhku!" teriak Linn sekali lagi bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya.
Keanehan perlahan muncul, bayangan di cerminnya menunjukkan Linn tengah tersenyum lebar, berbeda dengan Linn yang menunjukkan reaksi ketakutan.
"Kau gila ya?" Itu bukan suara Linn melainkan suara dari bayangannya yang berada di cermin itu.
"Kau... kau, Mara!" tuduh Linn dengan cepat.
"Wah, tepat sekali!" jawab bayangan Linn yang berada di cermin itu.
"Ah... lihat wajahmu yang cantik itu, bagaimana jika aku mengendalikan tubuhmu itu?" Linn perlahan melangkah menjauh setelah mendengar ucapan itu.
Rasanya aneh, Linn melihat tubuhnya bergerak sendiri mengelus pipinya, bukan Linn yang mengendalikan tubuhnya. Linn menatap ke arah cermin dengan mata yang bergetar.
"Tunggu waktunya, Linn sayangku." Pantulan bayangan Linn yang tadinya terlihat tersenyum kembali menunjukkan raut ketakutan seperti wajah Linn.
Matanya kembali seperti semula, namun rasanya sesuatu tengah merebut semua energi Linn. Jantung Linn terasa sakit membuat Linn meringis kesakitan.
●
Seperti hari Sabtu biasanya, mereka kembali berkumpul di rumah Ralu. Mereka berlatih hanya dengan bantuan buku tua itu, entah sampai mana kehebatan buku itu membantu mereka. Hanya buku itu yang dapat membantu mereka meningkatkan kekuatan.
"Aku tahu pemilik permata ketujuh," ucap Zev secara tiba-tiba.
"Aku gak yakin sama diriku sendiri sekarang," celetuk Linn sebelum Zev sempat melanjutkan ucapannya, membuat mereka menatap Linn dengan heran.
"Maksudmu?" Noe segera menoleh ke Linn sambil menunjukkan ekspresi bingung.
"Mara ... penyihir itu seolah mengendalikan tubuhku," lirih Linn dengan menundukkan kepalanya sambil bergerak gelisah.
"Keluar dari sini dulu," perintah Zev dengan menatap curiga ke Linn.
"Yang bener dong? Kasihan!" bela Ola yang tidak setuju dengan pendapat Zev.
Ralu memegang bahu Ola, mereka berdua saling bertatapan. Ralu menggelengkan kepalanya tanda Ola harus setuju dengan pendapat Zev.
"Linn kamu keluar dulu, gak ada yang tahu, Mara bisa tahu rencana kita atau nggak." Pendapat Ralu benar, Linn harus pergi, dia tidak mau membuat masalah besar.
Linn paham, ini demi kebaikan mereka. Tapi apa mungkin sesosok Mara sang penyihir yang hidup lebih lama dari mereka tidak bisa mengetahui rencana mereka.
Ola menatap wajah Linn yang tersenyum kecil lalu membalikkan badannya melangkah menjauh dari mereka. Melihat wajah Linn yang polos itu membuat Ola merasa tidak tega, namun tidak ada yang bisa dilakukan.
"Bahaya semakin dekat," kata Zev sambil melangkah duduk di kursi kayu taman itu.
"Mara itu berbahaya, dia bisa saja mengawasi kita dari jauh atau bahkan dari dalam tubuh, Linn, untung kekuatan, Mara belum pulih sepenuhnya," jelas Ralu dan tatapannya masih melihat sekeliling dengan waspada.
"Apa yang mau dijelasin?" tanya Noe pada lelaki rambut sayur– julukan Zev yang diberikan oleh Noe.
Zev menjelaskan pertemuannya dengan gadis kecil yang tak lain adalah Siel pada saat dia kabur dari sekolah beberapa hari yang lalu. Ola menatap ke arah Ralu yang terlihat tengah berpikir keras.
"Kenapa gak bilang dari kemarin-kemarin?" kesal Ola setelah mendengar cerita Zev.
"Tahu alamat rumahnya kan?" tanya Ralu sambil menatap serius ke arah Zev.
"Tahu, masalahnya itu ...." Zev menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu dengan canggung.
●
"Ini beneran gapapa kalau, adikku pura-pura jadi temennya?" tanya Ola sambil bersembunyi di balik dinding tinggi.
"Tambah aneh kalau yang dateng itu, Zev," sahut Ralu di samping Ola.
Mereka terlihat mencolok dengan kaca mata hitam dan sebuah kain dengan warna terang yang menutupi rambut mereka. Dengan segala kenekatan, mereka bersembunyi di belakang dinding putih di samping rumah yang diketahui adalah rumah seseorang yang mereka butuhkan.
Dua perempuan itu yang tak lain adalah Ola dan Ralu tengah memperhatikan seorang anak perempuan yang tengah mengetuk-ketuk pintu rumah seseorang. Anak perempuan itu adalah adik Ola yang masih berumur 8 tahun itu.
"Permisi!" Anak perempuan itu mengetuk pintu rumah itu beberapa kali sambil mengulang satu kata yang sama sedari tadi.
Seorang nenek tua terlihat keluar dari pintu itu dan tersenyum ke arah anak perempuan di depannya.
'Ayo, Lou! Semangat' batin Ola memberi semangat pada adiknya itu.
"Ada apa, nak?" tanya nenek itu dengan lembut sambil menunjukkan senyum kecil.
"Umm, kak Siel ada?" tanya Lou sembari menautkan kedua jari telunjuknya di belakang tubuhnya karena rasa ragu dan sedikit cemas.
Ola tidak bisa mendengar perbincangan mereka dengan jelas, dia harus menunggu hasil rencana mereka dari ucapan Lou sendiri. Pilihan mereka sekarang adalah menunggu.
Selang beberapa menit Lou menghampiri mereka dengan cepat. Ola tak melihat ada anak lain di samping Lou, tanda rencana mereka gagal.
"Ga ada?" tanya Ralu pada Lou.
"Kata, nenek di sana, katanya, kak Siel itu udah keluar kota, pulang ke rumahnya," jelas Lou sambil mengingat-ingat percakapannya dengan seorang nenek tadi.
Hancur sudah harapan mereka, sekarang pilihan mereka hanya menyerah dan menunggu di lain kesempatan. Entah mereka akan menemukan anak perempuan pemilik permata ketujuh atau tidak.
"Tapi sama nenek itu di kasih ini," lanjut Lou sembari memberi sebuah kertas ke Ralu.
Ralu segera menerima kertas itu dengan tangan kanannya. Ola mendekat ke arah Ralu untuk melihat kertas apakah itu. Terukir sebuah senyum lebar di wajah Ola setelah melihat kertas itu.
"Kerja bagus, Lou! Nanti, Kak Ralu bakal kasih kamu es krim!" puji Ola pada adik perempuannya itu.
"Kok aku?" tanya Ralu dengan nada tak terima.
"Beneran ya, Kak Ralu!" Sejak kapan Ralu bisa melihat efek bintang-bintang imajinasi yang tengah bersinar di sekitar Lou, tatapan mata Lou terlihat seakan bersinar seolah berharap ke arah Ralu.
Setelah melihat wajah Lou yang bersemangat, Ralu merasa tidak tega jika tidak memberikan es krim pada Lou. Sedangkan Ola hanya tertawa kecil melihat respon malas dari Ralu.
'Padahal di rencana asli gak ada acara ngebeliin, Lou es krim,' batin Ralu sembari menghela napas pasrah, dengan lemas Ralu menganggukan kepalanya perlahan.
●
●
●
Ralu gak tegaan, lagipula Ralu kan kaya (^-^). Sekali-kali beliin es krim doang mah gapapa dongg. Vote yak
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELSTENEN
FantasyMenggunakan sihir hitam dan melakukan perjanjian dengan iblis adalah hal yang salah. Seorang penyihir berhasil melakukan perjanjian terkutuk dan membuat masalah di masa depan. Linn dan teman-temannya bertugas menggagalkan rencara penyihir itu *** Ma...