05: Everest : Noah dan Dua bocil

496 84 13
                                    



-happy reading 🏀
-sorry for typo(s)


—Everest—

Langit sore bukan yang paling indah, tapi bagi Kaleo, langit sore adalah langit favoritnya, tempat dimana ia bisa betah memandang hampir tanpa berkedip. Langit sore yang jingga, seakan mengirim rasa tenang untuk siapa saja yang sedang memandangnya. Kaleo sangat amat menyukai langit sore dan mungkin tidak akan pernah tidak menyukainya.

Sekolah berakhir pukul 15.30, tapi sampai rumah selalu mendekati waktu magrib. Kaleo bukan tidak mau pulang, tapi rumah memang rasanya selalu berat untuk ia sebut tempat pulang. Maka alih-alih pulang ke rumah, hampir setiap hari, Kaleo akan pergi ke sebuah taman bukit buatan tak jauh dari rumahnya. Ia hanya akan duduk disana, menikmati angin kecil yang menghalau hawa panas. Terkadang ia hanya akan diam melamun atau berakhir tertidur di atas rerumputan di bawah pohon besar.

Jika sudah begitu, Noah dan Khai akan ribut sendiri menjemput si teman.

"Lo aja deh No yang panggil si bocil."

"Bareng ege. Tadi kita udah sepakat bareng."

"Nyali gue ciut No, takut ah gue. Lo aja dah."

Noah mendengus kesal. Setiap kali Kaleo belum pulang sampai waktu hampir malam, ia dan Khai akan berakhir berdebat. Mendebatkan siapa yang akan menjemput Kaleo di bawah pohon di taman bukit. Pasalnya diantara ketiganya, hanya Kaleo yang berani mendatangi tempat itu, tempat yang sudah sejak mereka kecil banyak cerita-cerita menyeramkan beredar tentangnya.

"Telpon aja coba, ketiduran pasti anaknya."

"Mati."

Kepala Khai sontak menoleh, menatap Noah dengan mulut yang melongo kaget.

"Astaghfirullah No, yang bener kalo ngomong!!"

"Hp dia yang mati, konyol."

Khai mengusap dadanya lega. Di situasi seperti sekarang, Khai terkadang tidak bisa mencerna kata atau kalimat singkat yang Noah ucapkan. Ketakutannya tentang makhluk tak kasap mata membuatnya gemetar hampir sebadan-badan.

"Ayo deh No, kasian itu bocah kalo betulan ketiduran. Nanti kena DBD lagi bahaya."

Walaupun sudah berucap seperti itu, Khai tetap tidak melangkah maju. Anak sulung Daniswara itu masih berlindung di balik tubuh Noah yang besarnya tak jauh berbeda dengannya.

Dan berbekal pencahayaan dari ponsel di bawah langit yang sudah mulai menggelap, Noah memberanikan diri melangkah maju. Dibanding rasa takutnya, si teman yang entah sedang apa di dalam taman sana lebih penting. Noah tidak mau menemukan Kaleo dengan banyak bentol merah di tubuhnya. Nyamuk taman, ganasnya tidak main-main.

"Itu nggak sih No?"

Noah mengangguk. Langkah ragunya ia sudahi, diganti dengan langkah cepat menghampiri Kaleo yang terlihat baru saja mendudukkan diri.

"Le pulang anjing udah malem bego!!"

Mau tidak mau, Noah menepuk mulut Khai yang dengan heboh berteriak, membuat Kaleo tersentak kaget karenanya. Anak yang baru bangun tidur itu terlihat memegang dadanya dengan napas memburu. Ibaratnya nyawa masih setengah tapi sudah diteriaki seperti maling, orang mana yang tidak terkejut.

Noah meraih tas Kaleo yang berada tak jauh dari anak itu duduk, kemudian Noah membantu Kaleo berdiri tak lupa menepuk-nepuk beberapa bagian tubuh si teman untuk menghalau debu.

Everest || 00 ft 02 liner Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang