вαgιαη 05

47 6 0
                                    

Seorang pria sedang memandang langit malam dari balkon dengan sebatang rokok di tangan kanan yang terus bolak balik di hisap dan di tiup. dia kembali mengingat kejadian sore tadi saat tak sengaja melihat ibu nya kembali ke rumah dengan seorang gadis yang membantu mendorong kursi rodanya. Panik dan sempat terdiam sebelum benar benar tersadar kalau gadis itu adalah Nilam yang merupakan adik dari teman kelasnya.

" Ka, lain kali jangan biarin ibu nya sendiri dirumah. Tadi dia keluar tapi hampir gabisa pulang " setelah mengatakan itu, Nilam benar benar pergi tanpa pamit. Bahkan Jean belum sempat mengucapkan terimakasih.

" Jean? " suara serak khas wanita paruh baya menyelimuti kamarnya yang dingin karna udara malam.

" Udah malem, kenapa Mama belum tidur? "

" Lagi pengen habisin banyak waktu sama anak mama " ucap wanita itu tanpa ekspresi, dan hanya diam ikut memandang luasnya langit berhias bintang di hari ini.  Jean sedikit tidak tenang dengan perkataan sang Ibu tentang dia yang ingin menghabiskan banyak waktu. Terdengar biasa, namun tidak bagi Jean yang tau seberapa berat penyakit yang di derita oleh wanita itu. Kata kata biasa pun bisa menjadi setajam pisau kalau Ibu nya yang bicara. Sungguh, Jean belum siap kehilangan seorang Ibu, bahkan setelah hidup tanpa figur seorang Ayah. Pikirannya kembali acak. Menghela nafas dengan sedikit berat, Jean menatap Renjani dari arah samping.

" Mah, apa pendapat Mama tentang orang yang selalu dipandang rendah cuma karna kepintaran mereka? " Tanya Jean.

" Kenapa? kamu punya temen yang di pandang kaya gitu? "

" Ngga, tapi- "

" Hibur dia, Jean. Mama ngga pernah ngajarin kamu buat membeda bedakan status kepintaran orang. Pintar atau kurang pintar, semua tetap manusia biasa. Bahkan manusia pintar belum tentu bisa sebaik manusia yang kurang pintar "

" Tapi kalau ada orang yang jadi penghalang, gimana? "

" Apa itu penting? Selagi kamu bisa, ngga ada alesan buat kamu ngeluh tentang siapa yang jadi penghalang jalan kamu " nasihat Renjani lembut. Jean mengangguk faham. " Kalau gitu mama tidur duluan ya, kamu jangan kelamaan di balkon, takut masuk angin " kata Renjani di balas anggukan pelan dari Jean. " Mau Jean bantu? " Renjani menolak mentah mentah dengan gelengan disertai senyuman walau dia sendiri tau kalau tubuh renta nya sudah cukup sulit untuk mengendalikan kursi roda sekalipun hanya untuk memencet tombol penggerak. Wanita paruh baya itu menjauh dengan tubuh yang semakin mengurus bahkan terlihat seperti sisa tulang yang terbungkus lapisan tipis daging, kepala tanpa rambut dan kulit keringnya yang semakin lama semakin banyak menciptakan kerutan kerutan alami. Waktu berjalan begitu cepat bagi Jean. Rasanya seperti baru kemarin kemarin dia dan Renjani berlarian kesana kemari. Setidaknya tepat sebelum penyakit serius merenggut jiwa mudanya.

Tapi Jean masih bersyukur karna sejatinya, pengidap kanker stadium akhir akan kesulitan berbicara bahkan mendengar sekalipun sudah tertatih tatih. Tapi Renjani malah dapat memberi nasihat walau ada beberapa saat dimana Renjani seakan lupa semua kosa kata yang dia tau. Hanya bisa terdiam dan memandang Jean dengan sedih.

——————

Pagi pagi buta seperti ini, Jean harus menunggu supir nya selesai memanaskan mobil. Kebetulan motornya sedang ada perbaikan yang memakan waktu satu sampai dua hari. Masih terdiam saat netra hitam nya menangkap siluet gadis yang kemarin membawa ibunya kembali dengan selamat. Siapa lagi kalau bukan Nilam?

" Pak, Jean jalan kaki aja. Takut telat " usul Jean secara tiba tiba. Pak Darto yang posisinya sudah siap, berusaha menjelaskan kalau Jean hanya tinggal naik dan berangkat. Tapi Jean tetap menolak dengan alasan ingin berjalan kaki saja. Pak Darto jelas tidak bisa memaksa, akhirnya beliau meng iyakan dan segera pamit untuk beralih pekerjaan.

Sementara di sisi lain, masih ada Nilam yang berjalan santai di tengah kendaraan berlalu lalang sambil memegangi buku tulis ber sampul biru. Hari ini ada ulangan Bahasa Inggris jadi Nilam harus mempersiapkan semuanya matang matang. Tentang masuk atau tidaknya materi, anggap saja itu bonus karna Nilam mau membaca buku pagi pagi.

" eh-eh? " Nilam hampir saja kehilangan keseimbangan akibat tubuhnya yang terhuyung ke samping secara tiba tiba. Atau bisa dibilang, seperti ada yang menarik ranselnya dari belakang. " Yang di perhatiin harusnya jalan, bukan Buku " Belum sempat menoleh, Nilam malah dibuat heran dengan suara barinton dari arah belakang. Jean? gumamnya. " Makasih " Dingin Nilam, kembali melanjutkan perjalanan. Kenapa berterimakasih? karna Nilam tau dia hampir menabrak lampu jalanan kalau saja Jean dengan tidak sopannya menarik ke arah samping sampai hampir terjatuh. Siapa sangka, orang yang baru saja menjadi penambah dialog di atas, sekarang benar benar ada di sampingnya sambil menanyakan Mavera. Nilam sekedar menjawab dengan gelengan, tapi si Jean Jean ini malah lanjut bertanya dengan pertanyaan berbeda yaitu tentang kenapa dia membaca buku. Konyol, tapi nyata.

" Ya menurut lo aja gimana " kesal Nilam. Satu kata? bungkam. Itu yang Jean lakukan saat mendengar kata kata terakhir dari Nilam. Dilanjut dengan mereka yang berjalan bersama menyusuri indahnya aspal berhias dauh daun gugur dari dahannya. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk Jean juga Nilam sampai ke gerbang sekolah. Sebelum gadis berambut gerai itu pergi, dia malah menatap Jean. Katanya, " Kalau lo sokab ke gue cuma karna pengen deket sama Vera, mending gausah Ka. Tenang aja, bakal gue restuin "

" Hah? "

The Reason Why I Live Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang