Bab 3

121 21 14
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

“Jelasin dulu, Yah. Kok bisa sampai kapal pecah gitu dapurnya?” ucap Ledib sembari mencuci piring dan segala perkakas dapur yang tadi terjatuh dan habis dipakai untuk makan malam.

Narendra kala itu masih meng-aduh karena lukanya yang baru saja diobati oleh Ledib, ia menjawab dengan memegangi lukanya. “Gue juga nggak tahu … pokoknya dia minta cerai, batalin yang lima juta, sama jelek-jelekin lo. Ya, tawuran lah kita berdua. Dia ngira gue itu pekok (tolol) kali, nggak bakal nyerang dia perkara dia ngejelekin lo. Padahal, aduh … kalo lo tadi ada di rumah, lo bisa lihat dengkulnya ketancep vas kaca yang pecah itu.”

Ledib tertawa. “Ya udah, Yah. Biarin aja.”

***

09.39

“Dib,” seseorang memanggil Ledib yang berjalan sendirian mencari keberadaan Kevin dari belakang, membuat Ledib refleks menoleh ke kanan-kiri.

“Hey,”

“Yaelah, mau apa lagi lo? Harusnya lo udah puas gangguin gue kemarin pas di Indomaret.” Ternyata yang memanggil ialah Azre. Ledib mendecak lalu berjalan meninggalkan Azre itu. Namun, tangan Azre menarik baju Ledib agar ia tidak meninggalkannya.

“Rumah lo pas kemarin, berisik lagi. Orang tua lo berantem ya?”

Ledib yang ditanyai menghembuskan nafasnya pelan, menoleh dan melemparkan tatapan tajam ke Azre. “Iya. Udah, lepasin.”

“Yah, keluarga kaya, tapi rusak. Kasian,”

“Bisa-bisanya lo ngomong gitu, anjing! Lepa—”

Bukannya melepaskan baju Ledib, ia malah menarik lebih kencang, membuat Ledib meng-aduh dan membalikkan badannya.

“WOY! Mau apa sih, lo?”

“Mau pecel lagi di warung Hendri.”

“Yaelah si tolol! Nggak mau gue! Lo nyuruhnya pas gue belum beli apa-apa anjing.”

Azre dengan raut kesalnya mendecak. “Lo ‘kan, doyan pecel juga? Ya sekalian lah beli pecel, goblok. Nggak ada penolakan.”

Ledib pasrah, menggunakan tiga puluh persen dari uang jajannya demi makanan Azre dan makanan yang sedang tidak diidam-idamkan olehnya. Ia hanya memberi lirikan ujung mata saat membalikkan badan, lalu berjalan dengan cepat.

***

“Vin, gue baru tau kalo lo doyan pecel juga. Padahal, kita temenan udah dua tahun.” Ucap Ledib dengan tangannya yang memegang sendok plastik. Kevin hanya tertawa, membuka satu bungkus pecelnya.

“Gue itu suka banget malahan sama pecel. Tapi, menurut lidah gue, pecel bikinan Lek Hendri kurang enak. Jadi, gue nggak pernah beli pecel lagi di sini. Tapi, sekarang katanya makin joss pecelnya. Jadi, gue beli deh.”

Merah, Lalu Putih.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang