Prolog

20 2 1
                                    

Hari Senin. Hari pertama di jajaran hari dalam satu minggu. Bagi banyak murid, hari Senin menjadi salah satu hari yang menyebalkan. Alasannya? Tentu saja upacara bendera di hari Senin pagi. Mereka harus bangun pagi, berdiri di bawah terik matahari, belum lagi harus mendengarkan ceramah pembina upacara yang itu-itu saja. Benar-benar merepotkan.

Sama halnya dengan SMA Adyaksa. Salah satu SMA elite di ibu kota. Bel sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Tapi, masih banyak murid yang baru datang. Lihat saja bagaimana para pemalas itu memohon-mohon kepada Pak Rohman-satpam sekolah-untuk membuka gerbang yang sudah ditutup. Sedangkan di dalam sekolah, upacara sudah mulai berjalan.

Aslan mengamati dari balik gerbang dengan tangan terlipat di depan dada. Cowok beriris hitam itu menatap tajam murid-murid yang tidak henti bersahutan dengan kalimat sama.

"Pak, tolong bukain, dong. Kita kan cuma telat lima menit. Lagian upacara juga baru mulai."

"Pak, kalo tadi Pak Rohman gak kecepetan tutup gerbangnya, harusnya kita masih keburu baris di lapangan."

"Bapak mah pelit. Telat dikit doang padahal."

Begitulah kira-kira rengekan mereka. Saling sahut-menyahut memekakan telinga dan cukup membuat kegaduhan.

Aslan menghela napas dalam. Semua terasa memuakkan. Rutinitas yang selalu terjadi di hari Senin. Padahal murid-murid ini tahu jika selalu ada hukuman yang menanti bagi yang telat. Tapi, tetap saja hal ini terus terjadi.

Aslan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Ternyata sudah berlalu lima belas menit dari waktu gerbang ditutup. Itu artinya lima belas menit lagi upacara selesai. Masih cukup lama, tapi ada satu yang mencuri perhatian Aslan daritadi.

Satu nama yang terlintas di benaknya. Dan saat ini, netranya menyisir di barisan orang-orang di luar gerbang yang sudah pasrah dengan nasib mereka, guna menemukan keberadaan satu makhluk bernama Leona.

"Tumben Leona gak ada." Celetuk Silvy, salah satu anggota OSIS yang berjaga bersama Aslan hari ini.

Ternyata bukan hanya Aslan yang menyadari, Silvy pun menyadarinya, bahwa salah satu list paten orang telat mereka tidak ada.

Aslan melirik sekilas lalu mengedikkan bahu acuh.

"Hm, gak biasanya nih dia gak ada." Silvy menggumam sambil berpikir. Sedetik kemudian, cewek itu teringat sesuatu, "Oh! Gue tahu... Pasti dia nerobos lewat gerbang belakang. Di kan udah pro kalo masalah begini-begini."

"Disana ada Adit sama Jay. Gak mungkin lolos. Kali aja emang dia bolos." sahut Aslan terdengar bodo amat.

"Iya juga ya," Silvy kembali berpikir.

"Ah! Bodo amat lah. Mau dia bolos kek, telat kek, masuk kek, bukan urusan gue juga." Kata Silvy sambil mengangkat bahu. "Terus...yang ini mau diapain?" Silvy menoleh ke arah Aslan dan murid-murid yang telat secara bergantian.

Semua murid itu tentu mendengar pertanyaan Silvy pada Aslan. Mereka serempak menoleh, siap mendengar kalimat yang akan keluar dari bibir cowok itu.

Ini nih yang bikin jantung dag dig dug serr. Masalahnya, Aslan itu terkenal kejam. Dia tidak sungkan memberi hukuman yang cukup tidak manusiawi pada pelanggar tata-tertib.

Aslan menyeringai kecil. Dia menyisir satu persatu wajah yang akan menjalankan hukuman darinya hari ini. Well, memberi pelajaran para orang-orang seperti mereka memang menyenangkan bagi Aslan.

"Gue kapan hari lihat gedung D kotor banget," Aslan menjeda ucapannya sambil mengamati satu persatu perubahan orang-orang di depannya. Mereka kompak menahan napas. Jangan bilang—

She's LeonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang