Chapter Two

4 1 0
                                    


"Apa kau bilang?!" Evan terkejut dengan laporan yang diberikan oleh sekretarisnya. "Cari tahu pria yang berani memukulnya, cari tahu juga tentang pria bernama Zion itu. Aku tidak ingin ada laki-laki lain menyentuh milikku!" tegasnya.

"Pria itu berumur akhir 30 an dan menjadi salah satu klien perusahaan kita nanti, Pak," ucap sekretaris Evan. "Sedangkan Zion kini adalah seorang dosen di universitas terbaik dan menjadi dosen terbaik di universitas tersebut."

"Siapkan meeting dengan klien dari perusahaan tersebut, dan carikan aku kemeja yang paling mahal yang mirip dengan kemeja pria sialan itu."

"Baik, pak." Ucap sekretaris dan kemudian pergi untuk menjalankan tugas. Evan kemudian memandang jam di tangannya sembari menghela napas dengan keras.

"Sialan!"

.

Jane tertawa mendengar lelucon yang ada di televisi. Ia sedang menonton acara lawak yang membuatnya tertawa sampai mengeluarkan air mata. Sesekali kedua matanya melihat jam dinding yang menunjukkan sudah pukul 9 malam.

Tiba-tiba saja dirinya menjadi tidak senang dengan acara lawak tersebut dan menggantinya dengan film horror. Bukannya merasa takut, Jane merasa bahwa dirinya tidak pantaas berada di sini. "Sial!" umpatnya dengan nada kecil.

Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Jane kemudian pergi ke arah pintu depan dan terkejut melihat Evan pulang dengan membawa seorang wanita yang tidak asing bagi dirinya. Rasa cemburu menguasai dirinya ketika Evan tersenyum kecil kepada wanita itu.

"Kau belum tidur?" Evan juga sedikit terkejut dengan kehadiran Jane. "Pergilah ke ruang kerjaku." Ucap Evan kepada wanita itu. Jane hanya bisa mematung dengan rasa cemburu yang kini semakin menjadi-jadi melihat wanita lain masuk begitu saja ke dalam ruang kerja suaminya.

Evan kemudian bertanya kepada Jane, "Apa yang terjadi dengan wajahmu?" tanya Evan melihat mata Jane yang sedikit kemerahan dan berair.

"Oh, ini karena film yang ku tonton," ucap Jane mengikuti Evan yang masuk dan menuju ke arah dapur. "Siapa wanita itu?"

Evan tidak menjawab. Ia mengambil beberapa kaleng bir dan juga menyiapkan buah di piring. "Aku bertanya padamu."

Evan membalikkan badan dan menatap Jane, "Untuk apa kau peduli?" tanya Evan membuat darah Jane mendidih. Evan kemudian melanjutkan kegiatannya dan pergi ke ruang kerja, meninggalkan Jane yang hanya terdiam dengan pertanyaan Evan.

Menurut Jane, memang seharusnya ia tidak peduli. Evan tidak lama akan menceraikannya. Tanpa tahu, air mata jatuh begitu saja di kedua pipi Jane. Tidak satu atau dua, namun sangat teramat deras. Jane berjongkok dan membungkam mulutnya agar tidak menangis dengan keras.

"Brengsek kau, Evan!" rintihnya yang masih menahan isakan keras. Namun, sia-sia karena ia tidak bisa menahannya untuk sekarang. Masa bodo dengan Evan dan wanita itu mendengarnya atau tidak. Ia memiliki hak untuk mengusir wanita itu sekarang juga. "Akan ku usir wanita itu, lihat saja!"

.

"Sebaiknya aku pulang sekarang, istrimu juga pasti tidak akan senang aku di sini," ucap wanita itu.

"Ya, pergilah." Tegas Evan. Saat wanita itu ingin membuka pintu, Evan memanggilnya. "Kori, tolong rahasiakan hal tadi dengan siapapun, sekalipun sekretarisku."

Kori memutar kedua bola matanya dan memberikan jari tengah, kemudian menghilang dibalik pintu. Saat itu juga Kori melihat Jane yang masih duduk di ruang tengah. Jane yang kini memiliki telinga sangat peka, berdiri dan menghampiri Kori.

"Sudah selesai bersenang-senang dengan suami orang lain?" tanya Jane dengan tatapan datar. Kori yang kebingungan kini mencoba untuk menenangkan Jane dan meminta Jane untuk bersabar. "Kau pikir siapa dirimu memintaku bersabar? Kau idiot atau tidak punya hati?"

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang