Win or Lose?

1.1K 54 4
                                    

Ketukan pintu dari kamar Gavian terdengar, hal itu membuat Gevano terkejut dan segera mengunci pintu kamarnya. Entah siapa yang mengetuk, ibunya atau Mbak An.

Setelah ini dapat dipastikan pintu kamar Gevano akan diketuk, karena setelahnya Gevano juga mendengar deritan pintu kamar sebelahnya dibuka. Tentu saja Gavian tidak ada di kamarnya.

Hal ini membuat Gevano sedikit was-was.
Benar saja, ketukan itu akhirnya sampai di pintu kamarnya sendiri.

Gevano dengan cepat menata guling dan bantalnya yang disusun secara vertikal menyerupai seseorang, lalu menyelimutinya secara keseluruhan. Penampakannya sudah terlihat seperti seseorang sedang tertidur di kasurnya.

Gevano menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dirinya tidak boleh terlihat panik atau gugup, karena ibunya juga bukan orang yang mudah percaya dengan ucapan orang lain tanpa bukti, persis seperti dirinya.

Gevano membuka kenop lalu tampak di balik pintu, muncul wanita cantik dengan senyuman hangatnya yang menyapa Gevano. Yang dilakukan Gevano hanya membalas senyum ibunya.

“Belum tidur?” tanya Erina sambil mengusap surai hitam putranya. Gevano hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Gavian di sini?” tanya ibunya lagi. Benarkan? Sepertinya keringat di pelipis Gevano mulai menetes. Dengan perasaan bersalah, ia kembali menatap netra ibunya dengan perasaan bersalah. Hanya perasaanya bukan raut wajahnya.

“Iya, Ma. Anaknya ketiduran, tuh. Tadi baru selesai belajar bareng,” jawab Gevano tersenyum getir, gara-gara Gavian dirinya harus mengucapkan kalimat kebohongan itu.

“Satu jam lagi Mama dan Papa berangkat, jangan tidur dulu ya, nanti keluar kamar, Mama dan Papa mau pamitan.”

“Oke, Ma. Nanti sejam lagi Geva bangunin Gavi.”

Erina mengangguk, lalu izin pergi karena masih harus packing beberapa barang. Erina dan Januar memang sengaja memilih perjalanan malam untuk menghindari macet dan kebisingan di siang hari. Sudah seminggu lamanya orang tua si kembar berada di rumah, kini saatnya mereka kembali meninggalkan kedua putranya untuk mencari nafkah.

Setelah menutup pintu, Gevano menghembuskan napasnya gusar, dirinya sedikit emosional jika harus berurusan dengan ibunya. Apa itu tadi? Dirinya baru saja berbohong pada ibunya! Benar-benar anak durhaka!

Tidak ada cara lagi selain menghubungi Gavian untuk menyuruhnya pulang. Gevano tidak tahu jika malam ini kedua orang tuanya akan berangkat, dia pikir masih ada satu hari lagi.

Jika Gevano tahu malam ini orang tuanya akan berpamitan, maka dari awal ia akan melarang Gavian pergi melompat dari jendela kamarnya.

Nomor yang dihubungi tak kunjung mengangkat sambungannya yang membuat Gevano jadi berjalan mondar-mandir sambil menunggu kepastian dari kembarannya yang sekarang entah ada di mana dan sedang apa.

“Gavi main ke mana sampai nggak bisa dihubungi?” geturu Gevano yang masih berjalan bolak-balik.

Sementara Gavian, dirinya sedang fokus pada balapan Baskara dan Mahes. Keduanya terlihat saling menyalip, Baskara benar, Mahes terlihat lihai dan tidak dapat dipungkiri dirinya pasti hobi balapan.

Hal ini membuat ketiga teman Baskara waspada karena takut ucapan Baskara menjadi kenyataan. Baskara sendiri terlihat frustasi karena terus disalip jika dirinya berhasil menyalip. Hal ini membuat Baskara emosi dan melupakan jika dirinya hanya punya satu nyawa.

Persetan dengan nyawa, yang dipikirkannya saat ini hanyalah bagaimana caranya menang dan mendapat uang.

Ini sudah putaran keempat, tapi Mahes masih memimpin meskipun jarak mereka berdekatan. Dengan emosi yang sudah memuncak, Baskara menambah kecepatan yang dirinya belum pernah sampai di titik itu.

BORN AS TWINS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang