PROLOG

27 12 2
                                    

TIK TOK TIK

Suara jam berdetak memenuhi seisi ruangan sunyi. Seorang anak terduduk disubuah sofa panjang, kepalanya menunduk, kedua kelopak matanya tertutup terlelap. Ditangannya terapit sebuah kertas dengan angka sempurna, 100, dibagian kolom nilai.

TIK TOK TIK

Pradita, begitulah yang terukir dibaju seragam sekolah merah putih yang masih menempel ditubuhnya. Kini ia mengangkat kepala, melirik pintu utama rumahnya, sekali lagi menolehkan kepala pada jam di dinding ruangan itu, memperbaiki bingkai kacamata yang bertengger dibingkai hidungnya, menghela nafas.

Tidak terhitung berapa kali ini ia melakukan itu. Melirik pintu, menoleh, melihat angka jam di dinding, terus berulang. Sudah larut malam, tapi kedua orang tuanya masih saja belum pulang dari pekerjaan mereka. Sedangkan adiknya sudah beberapa jam lalu tidur di kamarnya

Sekali lagi mengela nafas, tidak ada gunanya lagi ia menunggu lantas ia bangkit dari duduknya, hendak membersihkan badan dan pergi tidur. Namun langkahnya terhenti karena suara kendaraan yang memasuki perkarangan rumah, Pradita urung pergi.

Pradita menunggu tidak jauh dari pintu, menggenggam kertas hasil ujiannya kencang. Pintu rumah akhirnya terbuka, tapi senyum Pradita perlahan turun. Di depan sana, kedua orangtuanya, dengan baju kantoran mereka yang berantakan, malah beradu cek-cok, entah membahas apa. Mengapaikan Pradita yang sedari tadi berdiri beberapa langkah dari mereka.

Pradita tersenyum kecut, ia mengharapkan apa?

Tapi karena sudah terlanjur ada di sana, Pradita mencoba mendekati keduanya, memanggil dengan nada yang lembut, berharap mereka menunda sejenak pertengkaran mereka. Ia hanya akan menunjukan hasil ujiannya yang sempurna lalu pergi.

Untuk panggilan yang ketiga, mereka baru menoleh, menatapnya dengan tanda tanya besar. Pradita mengembangkan senyum karena berhasil mendapatkan antesi keduanya, dengan cepat ia mengangkat tangan, ingin menunjukan kertas. Tapi kertas itu sudah tidak ada digenggamannya, raib begitu saja.

Pradita kebingungan menatap kedua telapak tangannya yang kosong, kembali mendongkak, kedua orangtuanya yang melihatnya seakan-akan meremehkan, kembali bercek-cok, mengapaikannya lagi. Tidak bisa begini, maka Pradita mencari kertas itu di sekitar, tidak ada tanda-tanda kertas itu jatuh, ia yakin telah menggenggam erat kertas itu. Pradita mengerutkan dahi.

Mendadak terdengar bising dimana-mana, orang-orang berlalu-lalang di trotar jalan, berbagai kendaraan melintas dijalanan ramai. Semuanya seketika berubah, lantai putih rumahnya berganti dengan jalanan aspal, perlahan suara orang-orang berbincang, kendaraan berlalu-lalang terdengar.

Kami sudah tidak berada di rumah lagi, melainkan berada di depan sebuah kedai pinggir jalan, yang menjual berbagai menu makanan, pandangan Pradita beredar menyapu sekitar, ada adiknya persis dipinggir jalan dibalik tubuh-tubuh yang melintas. Adik perempuannya itu sedang jongkok, bermain dengan seekor kucing putih jalanan yang sedang meringkuk tenang, ekornya bergerak-gerak, tangan mungilnya menggenggam sehelai benang yang terhubung dengan sebuah balon berwana merah muda.

Pradita sekali lagi menoleh ke orangtuanya, mereka masih bertengkar, cek-cok, memiliki pendapat berbeda tantang menu sarapan untuknya dan adiknya. Pradita hendak melerai, kita sedang berlibur, tidak baik bertengkar dengan hal sesepele itu. Toh ia dan Tia, adik perempuannya, bisa makan apapun, yang penting perut kenyang.

Belum sempat suaranya keluar, terdengar jeritan panik dari seorang ibu-ibu, disusul dengan decitan rem diaspal panas. Praditia menoleh panik kearah adiknya berada. Hampir tak bernafas, ia masih melihat sosok adiknya disana, mengelus bulu kucing.

Ibu-ibu tadi menjerit karena sebuah mobil sedan hampir saja bertabrakan dengan pengendara motor, semua orang berhenti dari aktivitas masing-masing, menonton dengan terkejut, hampir saja ada korban jiwa. Pradita mengehala nafas lega, untuk sesaat, ia melangkah akan menghampiri adiknya, untuk membawanya menjauh dari jalanan.

Setengah jalan dari posisi adiknya, sebelum ia menyadari sesuatu datang. Dengan tiba-tiba, mobil pengangkut barang lepas kendali. Terburu-buru menuju tempat tujuan., namun saat tiba dilampu merah, menginjak rem, kendaraan itu tidak berhenti, ada yang salah dengan mesin mobilnya, remnya blong.

Dengan panik, sopir menarik rem darurat berusaha memberhentikan laju mobil. Menekan klakson mobil, memperingati pengendara lain, semua orang menarik nafas tegang. Mobil itu terhenti tepat di depan adiknya, badan mobil mulai miring karena bobot yang tidak seimbang, berat sebelah. Maka detik berikutnya, mobil itu ambruk, tepat di sisi jalan.

Ibu-ibu tadi menjerit lagi, lebih kencang.

Dan tepat di depan matanya persis. Tidak bisa mengelak tidak bisa menganggap itu bohong. Tubuh kecil adiknya tertabkrak jauh dari kata pelan.

***

Gerimis hujan mengenai surainya yang sudah lepek berantakan. Netranya tidak beralih seincipun dari pusara milik ibunya, yang baru beberapa jam lalu dikebumikan. Dia ditinggal sosok bak malaikat itu saat ia masih berusia sedini ini.

Setelan jas hitam yang sedikit kebesaran membuat tubuhnya tenggelam, seperti dirinya yang tengah tenggelam dalam kesedihan. Tidak ada siapapun disana, beruntung hujan bersedia datang dan menemaninya menumpahkan bulir asin itu.

Ibunya meninggal karena penyakit kanker kronis yang ia derita. Itu penyakit yang mematikan. Itupun baru mereka ketahui beberapa hari sebelum kematiannya, ibu dari Jeinenda itu memilih merahasiakan penyakit yang ia derita selama hidupnya, karena suaminya adalah orang yang sibuk, maka akan lebih sibuk lagi jika dia tahu penyakit istrinya.

Singkatnya istrinya tidak mau membagi sisi buruk itu dengan suaminya. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan itu pada anaknya. Selama sakitnya semakin menjadi, dia menjadi sering dirumah dan yang paling sering berada di rumah selain dirinya adalah para pelayan dan anaknya, Jeinenda. Anak itu. Ia menyaksikan semuanya.

Ibunya tidak pernah bercerita apapun, tapi Jeinenda tahu segalanya. Ibunya ingin dia untuk tidak terlalu khawatir. Tapi wanita yang berjasa besar di hidupnya itu tidak tahu, bahwa dengan menyembunyikan penyakitnya, melakukan pengobatan ringan yang sederhana, tidak membantu banyak.

Karena setelah perginya satu-satunya sosok yang mengerti dirinya itu lebih sulit. Maka lebih sulit lagi saat mengahadapi sifat ambisius ayahnya, semuanya tertumpah-ruah pada dirinya yang sebenarnya rapuh itu.

Mau dikata sebenci apapun Jeinenda dengan ayahnya. Anak akan selalu mencontoh ayahnya. Itu sudah tabiat hubungan darah seorang ayah dan anak.

Maka dengan lingkungan keluarga yang menuntutnya untuk sempurna, dia di tuntut untuk menjadi penerus perusahaan besar milik ayahnya. Ayahnya ingin ia menjadi pengusaha yang sempurna. Tapi dia lupa anaknya adalah tiruan terbaik darinya, maka ambisinya lebih parah lagi.

Jeinenda ingin melebihi kesempurnaan itu sendiri.

○°Bersambung °○

Ⱳ' Haii guys~ 

i am back ^^

Setelah hiatus hampir satu tahunan, akhirnya aku kembali nulis di sini. Sebenernya ini dalam rangka ikut challange 25 hari nulis, soo, doain yaa semoga Wi bisa konsisten upload. ngomong-ngomong soal upload, aku usahakan akan upload setiap chapter tiap hari yaaa, soo, stay tune xixi.

untuk ceritanya sendiri, book kali ini aku bawain genre yang cukup simpel dulu dan konsepnya juga berbeda, cerita ini berlatar belakang tahun 2000-an menceritakan kehidupan karakter tokoh lokal yang ambis banget nihh. tunggu aja kelanjutan ceritanya yaa readers, see u tomorrow☺

RIVAL TO SURVIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang