○°Selamat membaca°○
"OH!"
"OOH!"
Pagi itu, di depan gerbang sekolah, mereka bertemu. Dengan barang bawaan untuk MPLS, name tag dari karton melingkar dengan tali rapia di leher, serta belahan bola plastic di kepala.
Pradita dan Jeinenda, nama mereka terpampang besar-besar di name tag masing-masing, sesuai peraturan. Berseru satu sama lain. Keduanya tidak pernah menyangka bahwa mereka akan bertemu lagi, di sekolah baru pula. Terutama Pradita yang merasa ini mulai menjengkelkan.
"Kau! Ngapain di sini?!" Pradita berseru keras.
"Ngapain lagi, sekolah lah. Kau gak liat penampilanku?" Jeinenda menunjuk dirinya sendiri beserta barang bawaan yang di perintahkan.
Pradita tahu itu, sejak melihat rupa dan penampilan Jeinenda dia sudah tahu betul bahwa anak itu menjadi anak baru di sekolah ini. Tapi kenapa harus di sekolah yang sama dengannya, itu maksud ekspresi wajahnya saat ini.
Di saat keduanya saling melempar sorot mata mematikan, seruan seorang penjaga sekolah membuat keduanya menoleh. Gerbang sebentar lagi akan ditutup, lupakan soal fakta mengejutkan keduanya yang satu sekolah. Mereka harus segera memasuki perkarangan sekolah baru itu, atau mereka akan mendapat masalah lagi.
***
Kegiatan MPLS sudah berakhir beberapa menit lalu, semua calon pelajar belarian keluar gerbang menuju kendaraan umum atau memilih berjalan kaki. Seperti Pradita saat ini, menyeret langkahnya untuk sampai di rumah. Di antara sekolah menengah yang lain, sekolah ini lebih unggul dari pada sekolah-sekolah lain di sekiar daerah itu. Terlebih lagi mereka menawarkan beasiswa dengan benefit yang tidak main-main.
Jarak antara rumah sewa dan sekolahnya hanya 700 meter, dan Pradita sudah hampir setengah jalan. Seorang peserta laki-laki, kawannya― baru berkenalan tadi karena kebetulan sekelompok, melambaikan tangan, dia sudah sampai di gang rumahnya, mereka harus berpisah di sana. Pradita mengangguk, sampai ketemu besok.
Kegiatan MPLS ini berlangsung selama tiga hari, berisi pembekalan dan pengenalan lingkungan sekolah kepada calon perserta didik baru, sebelum resmi menjadi bagian dari warga sekolah. Dengan di bimbing oleh panitia osis dan beberapa guru untuk mengawasi serta memberi beberapa materi dan peraturan dasar sekolah.
Sekolah ini termasuk sekolah dengan akreditasi luar biasa dan memiliki fasilitas yang memadai. Salah satu alasan Pradita memilih beasiswa sekolah ini, bahkan rumah sewanya termasuk hak dari beasiswa itu sendiri.
Sejauh ini, hari pertama MPLS tidak semenakutkan itu Kegiatan di buka dengan pembukaan oleh kepala sekolah dan panitia penyelenggara MPLS langsung. Lalu di lanjut dengan materi tentang pelajar dan kepemudaan oleh seorang guru wanita berbadan gemuk, tudung kepalanya menjulang tinggi ke atas.
Kami bersila di lapangan utama sekolah, seluruh lapangan membentang luas berisi peserta didik baru dengan baju putih biru, asal sekolah sebelumnya. Materi diberikan sejak pukul Sembilan pagi hingga tengah hari. Itu adalah waktu-waktu yang sulit bagi seluruh peserta.
Satu-dua masih memperhatikan pemateri yang terus berbicara di depan sana, di bawah payung besar, teduh, entah sudah bercabang kemana lagi topik pembicaraannya. Dua-tiga kebanyakan peserta mengeluh, buku catatan di atas kepala, sudah tidak digunakan mencatat. Apalagi barisan bagian belakang, sudah berganti seperti pasar, bercakap-cakap dan bercanda tidak lagi mengindahkan pemateri di depan.
Guru wanita itu baru berhenti berbicara, saat ada seorang peserta mengacung tinggi-tinggi tangannya. Terlihat rebut disekitar peserta itu.
"Ya, ada apa di sana?" suaranya menggema di pengeras suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL TO SURVIVE
Novela JuvenilMemiliki rival atau saingan dalam hidup itu hal yang wajar, karena tabiat manusia sendiri memang tidak mau dirinya diungguli. Begitupun dengan kedua anak remaja ini. Pradita dan Jeinenda, dengan ambisi mereka untuk mendapatkan peringkat pertama di...